Isu Terkini

Tentang 22 Mei: Harapan, dari Dekat Sekali

Dea Anugrah — Asumsi.co

featured image

Kalau kota ini terbakar, saya ingin berada di sebuah tempat yang bersih dan terang, dan–jika boleh meminta lebih banyak–berciuman dengan orang yang saya cintai. Bukan buat melepaskan diri dari kenyataan yang berantakan, melainkan untuk merayakan bahwa hidup tak bisa sepenuhnya hancur-lebur. Bahwa selalu ada harapan, betapa pun kecilnya.

22 Mei 2019, menjelang malam, saya tiba di gedung Bawaslu bersama empat orang simpatisan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno: dua perempuan seusia ibu saya dari Bandung dan Ancol; seorang laki-laki paruh baya dari Banten; dan seorang laki-laki muda dari Tarakan, Kalimantan Utara. Kami berkenalan di depan rumah Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, pada hari yang sama. Saya bilang saya berasal dari Pulau Bangka, dan berkat baju koko putih yang saya kenakan, mereka mengira saya seorang mualaf yang datang jauh-jauh untuk memprotes hasil pemilu.

Saya menanggung ongkos taksi, Ibu dari Ancol membelikan kami makanan dan minuman untuk berbuka puasa, pria dari Banten berjalan paling depan, dan laki-laki dari Tarakan–yang mengenakan cincin dan jam emas–mengatakan kami berlima jangan sampai terpisah. “Kita dari daerah ini kan tidak tahu medan,” ujarnya. Saya manggut-manggut, tetapi sepuluh menit kemudian meninggalkan mereka untuk bergabung dengan rekan-rekan Asumsi di Artotel Sarinah.

Karena pemerintah membatasi akses internet, ditambah koneksi yang sewajarnya buruk di tempat banyak orang berhimpun, saya hanya bisa mencari tahu letak tujuan saya dengan cara bertanya ke orang-orang. Mula-mula, berdasarkan informasi dari beberapa demonstran, saya berjalan ke timur. Tak ketemu, saya menanyai beberapa orang lain dan diberitahu bahwa saya seharusnya berjalan ke barat. Deritanya mungkin tidak sebanding dengan Ti Pat-kay dalam serial televisi Journey to the West yang mondar-mandir di gurun karena diperintahkan berjalan mengikuti matahari, tetapi saya merasa kami sama konyolnya.

“Masya Allah, kalau berjodoh, Allah pasti mempertemukan!”

Kata-kata itu keluar dari mulut Ismail, yang saya kenal sehari sebelumnya, juga di Kertanegara, saat kami berpapasan. Dia berasal dari Medan, pernah bekerja di Jakarta Timur, dan sudah berhari-hari menginap di tenda di luar rumah Prabowo. “Peci merah loreng Abang kelihatan dari jauh,” kata saya. Dia tertawa dan mengajak saya berbuka puasa bersama. Saya bilang harus mencari hotel tempat rekan-rekan saya berkumpul.

Sekitar 100 meter dari tempat bertemu Ismail, saya berhenti lagi karena massa hendak salat berjamaah. Takut mengganggu, saya bersila di dekat sekelompok pemuda dan remaja berkaus hitam (beberapa di antara mereka mengenakan ikat kepala dengan tulisan Arab) yang duduk-duduk sambil merokok. Kelak, begitu kerusuhan terjadi, saya langsung teringat rombongan ini.

Saya jelas tidak relijius, tetapi rasa-rasanya ada semacam keharuan yang membuai ketika menyaksikan ribuan orang rukuk dan sujud bersama-sama. Alih-alih amarah dan penolakan, saya hanya melihat mereka memasrahkan diri kepada yang mereka yakini berkuasa atas segalanya. Kelak, dari berbagai foto, saya tahu bahwa di balik kawat berduri, para polisi pun meletakkan dahi di atas aspal untuk Tuhan yang sama, dengan cara yang sama, pada saat yang sama.

Selepas Magrib, para pemandu aksi 22 Mei meminta para demonstran membubarkan barisan sembari mengemasi sampah masing-masing. “Jangan tolah-toleh ke polisi. Pulang, keluarga menunggu di rumah!” kata salah seorang di antaranya. “Perjuangan kita belum selesai. Kami akan mengirimkan undangan untuk saudara-saudara sekalian kalau waktu untuk bergerak sudah tiba.”

Saya terus berjalan ke barat, melewati beberapa ambulans. Artotel belum kelihatan dan jaringan internet tetap buruk. Saya terpikir untuk menulis tentang pembatasan akses internet. Menurut Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), kebebasan menerima dan menyebarkan informasi memang tergolong sebagai hak-hak yang boleh dibatasi negara dalam keadaan darurat. Namun, apakah situasi Indonesia darurat? Jika ya, mengapa tak ada penetapan resminya? Mengapa pula pembatasan itu diumumkan setelah diberlakukan, bukan sebaliknya?

Kemudian, gara-gara melihat Holiday Inn Express, pertanyaan-pertanyaan itu berubah jadi lamunan: suatu tengah malam, sehabis dari Jaya Pub–yang terletak di seberangnya, saya terlampau teler baik untuk pulang ke indekos di Kemang maupun menyadari bahwa harga sewa kamar di hotel itu semalam akan menghukum saya selama sepekan. Ini bukan ingatan yang menarik, tetapi saya kira ia jauh lebih menyenangkan ketimbang apa-apa yang terjadi dan mengisi kepala saya setelahnya.

Tiba-tiba saya mendengar suara orang berteriak-teriak dari arah belakang. Merasa ada yang tak beres, saya mempercepat langkah dan menyelinap ke sebuah warung makan di samping Holiday Inn Express. Namanya Warteg Kharisma Bahari. Tak sampai lima menit, warung itu ditinggalkan semua pengunjungnya kecuali saya, yang tak tahu harus ke mana lagi. Kursi-kursi ditumpuk, kaca dilapik gorden, pintu dikunci, dan lampu-lampu dimatikan. Bersama para pegawai warung, sesekali saya mengintip ke jalanan dari jendela atau ventilasi. Orang-orang marah dan berlarian. Api menyala dan letupan mercon bergaung tak putus-putus.

Saya tak suka kegelapan karena ia selalu merawankan saya, membuat saya mudah takut. Padahal takut bukan perasaan yang saya inginkan saat itu. Saya ingin keluar, berdiri di dekat api unggun, dan melaporkan segalanya. Tapi, kata satu suara dalam kepala saya, baterai ponselmu belum penuh. Dan berturut-turut: Tapi kau Cina. Tapi para perusuh di luar sana bukan orang-orang yang datang bersamamu. Tapi mereka tak bakal menyambutmu seperti saudara. Tapi, kalau kau terjebak, polisi belum tentu percaya bahwa kau–yang tak punya kartu pers karena baru pindah kantor–adalah seorang jurnalis, dan bisa saja mereka menyadari bahwa tubuhmu bertato dan malah menghajarmu sebab mengira kau seorang perusuh. Tapi…

Saya kira pegawai-pegawai warteg memadamkan lampu agar tak terkesan mengundang penjarah. Mungkin malam sebelumnya mereka melakukan hal yang sama dan baik-baik saja meskipun polisi dan pengacau saling tumbuk. Namun, kemungkinan kena serbu tetap berseliweran dalam benak saya. Empat laki-laki dewasa, tiga perempuan, dan satu anak perempuan. Kira-kira, berapa lama kami bisa bertahan? Meski pernah belajar karate dan tinju, saya sangat jarang berkelahi dan tak pernah ikut tawuran. Maka, kecuali para pengacau itu–yang sebagian besarnya berbadan kurus dan melengkung seperti udang rebon–punya adab (ini oksimoron, tentu saja) untuk baku pukul satu lawan satu dan bersikap ksatria saat saya mematahkan lengan mereka sesuai giliran, tak banyak yang bisa saya harapkan.

Kalau saya sampai mati, saya akan jadi hantu yang menjaili Wiranto setiap hari.

Sesekali jaringan internet membaik dan saya dapat berkomunikasi lewat ponsel. “Bro, tarik diri sekarang dari lokasi,” kata Pangeran Siahaan dalam pesan pendek yang tertunda beberapa menit. Kalau selamat, pikir saya waktu itu, saya akan memberitahunya bahwa saya tidak suka dipanggil “Bro.” Sementara itu, pacar saya bilang ia sangat cemas dan mengomel kenapa saya mau-maunya meletakkan diri di tengah “orang-orang barbar.

Sambil berusaha menenangkannya, saya menjawab bahwa massa aksi dan kelompok yang sedang berantam dengan polisi tidak sepenuhnya sama. Sebagian demonstran mungkin terpancing dan ikut-ikutan menyerang, tetapi kelompok inti perusuh, saya yakin, terdiri dari para pengacau profesional. Dan para profesional ini semestinya lebih mudah dikendalikan. Kelak, beberapa di antara mereka yang tertangkap polisi mengaku bahwa mereka memang dibayar.

Saya bilang saya justru mengkhawatirkan para simpatisan sungguhan, yang sama rentannya dengan saya dalam kekacauan ini. Apakah si Ibu dari Ancol, yang berkata, “Alhamdulillah, masih ada orang baik di Jakarta” ketika saya membayar ongkos taksi kami, dapat pulang dengan selamat ke rumahnya? Apakah Ismail, yang mengaku bahwa nuraninya diketuk oleh Tuhan agar tak diam saja, ikut berkelahi? Apakah dua pemuda Lampung yang saya temui, seorang petani dan seorang kasir minimarket, benar-benar memilih “kabur kalau berhadapan dengan polisi” seperti niat mereka?

Pilihan politik orang-orang tersebut, sebagaimana gagasan mereka tentang Indonesia yang lebih baik, jelas berbeda dari saya. Mereka bicara banyak dalam pertemuan-pertemuan kami yang singkat, dan meski tak sepakat, saya tidak mau merasa lebih benar dari mereka. Saya kira kesediaan untuk mendengarkan pandangan lain, juga kesiapan untuk memeriksa (kalau perlu, menyesuaikan) pendapat sendiri, wajib dimiliki semua orang. Dan dalam politik, tentu akan sangat mengerikan jika hanya boleh ada satu cara memandang.

Indonesia tidak mungkin tanpa sayap konservatif,” kata politikus Budiman Sudjatmiko. Menurutnya, harus ada dialog yang ajek antara kelompok progresif dan kelompok konservatif dalam politik, agar–salah satunya–kemajuan dapat dijaga oleh nilai-nilai yang telah mapan.

Yang menyedihkan, kita tahu, pemilihan presiden kali ini telah mengubah ruang untuk bercakap-cakap dan berdebat menjadi medan perang.

Hasil penghitungan suara menunjukkan bahwa Jokowi menguasai daerah-daerah berpenduduk mayoritas Islam nominal dan tradisional atau agama-agama lain, serta daerah-daerah yang kebanyakan penduduknya beretnis Jawa. Di sisi lain, Prabowo menang di daerah-daerah yang komposisi etnis dan corak keagamannya berbeda, seperti Aceh dan Sumatera Barat.

Menurut ilmuwan politik Made Tony Supriatma, penyebabnya ialah penggunaan sentimen identitas  besar-besaran oleh kedua kubu dalam musim kampanye yang berkepanjangan, ditambah penyebaran hoaks, berita palsu, dan penyesatan lewat media sosial. Siasat itu mempertebal perbatasan sekaligus menjadikan para anggota tiap-tiap kubu menganggap pihak lawan sebagai pembawa kehancuran.

“Jika Anda pendukung Prabowo, berita-berita palsu dibikin untuk menguatkan keyakinan Anda bahwa pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan represif yang akan menindas Anda. Jika Anda pendukung Jokowi, Anda akan dipaksa untuk melihat Prabowo sebagai ancaman eksistensial,” tulisnya.

Memang, pada dasarnya, tak ada kelompok yang tidak memiliki musuh. Musuh diperlukan untuk mendefinisikan diri serta menguji sistem nilai setiap kelompok. Pertarungan melawan musuh ialah upaya meyakinkan diri bahwa kelompok masing-masing sungguh-sungguh hebat dan benar.

“Akan jadi apa kita tanpa orang-orang biadab?” tanya seorang warga Byzantium dalam baris-baris penutup puisi “Waiting for Barbarians” karya C.P. Cavafy, “mereka menyelesaikan masalah kita.” Hanya dengan kabar kedatangannya, orang-orang itu jadi penyeimbang kehidupan di Byzantium. Selain mengukuhkan kehebatan kekaisaran, ia mencegah kemutlakan yang melenakan dan menggerakkan kembali apa-apa yang mandek dalam politik.

Namun, permusuhan antarkelompok berbasis identitas dalam sebuah bangsa, sebagaimana terjadi di Indonesia kini, hanya menghasilkan gerak yang sia-sia. Permusuhan ideologis yang mematuhi aturan main memang menyehatkan demokrasi dan memperbaiki kehidupan, tetapi apa yang mungkin kita harapkan bila yang dipandang berbeda dan dibela hanyalah keutamaan hal-hal yang terberi dan biasanya tak dapat diutak-atik, seperti ras dan keyakinan?

Made mengaku tak yakin kita bisa pulih dari keterbelahan akibat pemilihan presiden kali ini. Pada satu sisi, kubu Prabowo sibuk mendelegitimasi hasil pemilu (sejauh ini belum ada bukti kuat tentang kecurangan terorganisasi seperti tuduhan mereka), sementara pendukung Jokowi sama sekali tidak mengendurkan permusuhan. “Kita berhadapan dengan polarisasi yang tidak pernah selesai,” tulisnya. Dan Made menuntut kedua tokoh yang bertarung itu bertanggungjawab “menyembuhkan bangsa ini.”

Meski sama sekali tidak percaya Prabowo dan Jokowi bakal memenuhi tugas itu, saya yakin bangsa kita akan pulih. Made Supriatma, selaku seorang ilmuwan politik, tentu punya dasar untuk berharap kepada perilaku politikus dan partai-partai politik selepas pemilihan. Namun, sebagai orang yang bersembunyi di tempat gelap ketika api menyala, terpisah dari semua orang yang saya kenal, saya menaruh harapan kepada orang pertama yang mengajak saya bicara.

Namanya Anis, anak perempuan berumur sembilan atau sepuluh tahun. Mungkin ia putri atau keponakan salah satu pegawai Warteg Kharisma Bahari. Sekitar sejam setelah kerusuhan dimulai, ia mendekati saya dan bertanya: “Kakak mau di sini sampai kapan?” Suaranya tak mengesankan ketakutan.

“Kalau sampai sepi, boleh?”

“Kemarin, sih, jam tujuh baru sepi,” katanya sambil mengaduk teh manis dalam gelas plastik.

“Tujuh pagi?”

“Iya, tapi nggak apa-apa. Kakak tidur di sini saja,” katanya. “Nggak apa-apa. Di luar berbahaya.”

Pada 22 Mei 2019, api menyala di sebagian kecil Jakarta, dan saya menemukan harapan, keindahan kecil dalam kekacauan itu, dalam bentuk belas kasih seorang anak. Tidak sesuai khayalan, memang, tetapi toh saya bukan karakter dalam novel Haruki Murakami atau puisi Aan Mansyur. Saya bisa makan gorengan dingin atau minum kopi saset sambil melihat api bekerja, dari balik jendela.

Share: Tentang 22 Mei: Harapan, dari Dekat Sekali