Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih jadi polemik di tengah-tengah pembahasannya di DPR RI. Saat ini, pembahasan RUU tersebut memang sedang ditunda lantaran adanya gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 pada 17 April 2019 lalu. Sejauh ini, progres pembahasan RUU PKS memang menghadapi banyak tantangan.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Mariana Amiruddin mengatakan bahwa sejauh ini RUU PKS memang sedang dibahas bersama DPR RI dengan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA). Namun, saat ini pembahasan tersebut harus tertunda karena adanya pesta demokrasi Pemilu 2019.
“Progresnya sudah mulai masuk ke pembahasan dengan DPR bersama KPPA, tapi kan baru selesai Pileg dan Pemilu 2019 nih, jadi mereka lagi banyak kesibukanlah seperti penghitungan suara lah, kembali ke dapil lah, dan sebagainya. Mungkin setelah 22 Mei ini kita akan lanjut lagi,” kata Mariana kepada Asumsi.co usai konferensi pers Women’s March Jakarta 2019 di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis, 25 April 2019.
Mariana pun membeberkan tantangan yang mereka hadapi selama pembahasan RUU PKS di DPR. Adanya kelompok atau kubu yang kontra terhadap keberadaan RUU tersebut cukup menjadi tantangan bagi Komnas Perempuan sendiri dalam mendorong proses demi proses pembahasan RUU. Salah satu isu yang disuarakan kubu kontra tersebut adalah bahwa RUU PKS dianggap melegalkan zina dan pro kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT).
“Sejak awal itu tantangannya adalah ya sebenarnya DPR itu sejak awal itu sudah ada inisiatif gitu. Jadi insiatif sebenarnya dari DPR, cuma didukung oleh masyarakat seperti Komnas Perempuan yang mewakil banyak lembaga masyarakat yang lain,” ucap Mariana.
“Tapi kemudian yang jadi polemiknya itu, karena masyarakat tertentu salah dalam membaca draft yang dibilang pro zina, LGBT, dan sebagainya itu. Sebenarnya isinya enggak ada yang mengatur apapun soal zina dan LGBT, dan enggak ada urusannya dengan itu,” ujarnya.
Menurut Mariana, suara-suara kontra dari kubu ‘oposisi’ itu lah yang sejauh ini cukup menghambat proses pembahasan RUU PKS. Sehingga situasinya berubah dan menurutnya hal itu membuat DPR mendua. “DPR malah jadi ragu, dan malah mengundang orang-orang yang kontra terhadap draft ini. Padahal kan ini draft-nya DPR juga, itu sih yang sejauh ini yang paling jadi pengambat.” kata Mariana.
Keberadaan kubu oposisi atau yang kontra terhadap RUU PKS itu pun lumayan menjadi penghambat dalam proses pembahasan tersebut. Meski begitu, Mariana dan Komnas Perempuan pun tak patah arang untuk terus mendorong agar RUU PKS bisa dikebut secepat mungkin.
“Strateginya ya kita harus merangkul mereka, jadi kita harus melihat ini melihat proses yang rumit ini sebagai sesuatu yang wajar dalam sebuah negara demokrasi. Itu yang perlu pahami sehingga kita enggak harus terlalu kencang untuk menganggap mereka itu salah dalam memahami RUU PKS ini,” ucap Mariana.
Mariana mengatakan bahwa upaya-upaya pendekatan dengan merangkul itu pun sudah sering dilakukan. Misalnya lagi seperti Komnas Perempuan mengunjungi Fraksi PKS, yang tujuannya agar lebih banyak dialog. “Selain itu kita juga ingin menegaskan bahwa bukan itu yang kami maksud (melegalkan zina dan pro LGBT). Kita juga mengundang banyak pihak-pihak yang kontra terhadap RUU PKS ini tapi sayangnya mereka kebetulan enggak bisa.”
Meski upaya pendekatan yang dilakukan Komnas Perempuan selalu gagal, Mariana menganggap bahwa paling tidak dengan mengundang mereka, maka itu sudah menunjukkan bahwa sebetulnya ada ruang-ruang dialog yang bisa dibicarakan. Perkara adanya suara yang setuju atau tidak setuju dalam dialog tersebut, tentu nantinya bisa bahan diskusi Komnas Perempuan sendiri terkait RUU PKS.
“Kita belum pernah duduk bersama dengan kubu-kubu yang kontra tadi, karena mereka menolak datang terus setiap kali kita undang, terkesan menghindar, dan selalu enggak bisa datang. Seperti misalnya kita meluncurkan Laporan Tahunan, kita sudah undang, tapi mereka enggak datang.”
“Tapi mungkin mereka juga di DPR tengah sibuk fokus Pileg dan Pilpres juga ya, apalagi ini tahun politik.”
Meski menjadi polemik, nyatanya RUU PKS sendiri mendapatkan dukungan dari pemerintah. Deputi bidang perlindungan hak perempuan dari Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) Vennetia Danes bahkan menargetkan, pada Agustus 2019 RUU PKS sudah disahkan DPR.
“Target kami Agustus 2019 sudah diratifikasi. Karena, kalau kita menunggu Oktober, sudah lain lagi orang-orang yang ada di DPR,” kata Vennetia dalam sebuah diskusi bertema “Merespons Dinamika Masyarakat terhadap RUU PKS” di kantor KPPA, Jakarta Pusat, Jumat, 22 Februari 2019 lalu.
Menurut Vennetia, pembahasan RUU PKS akan diintensifkan oleh DPR setelah Pemilu 2019 pada 17 April. Hal itu merupakan kesepakatan antara KPPA dan Komisi VII DPR RI. “Artinya pembahasan draft RUU PKS dan atau daftar inventaris masalah (DIM) antara legislatif dan eksekutif dengan DPR RI belum dimulai. Jadi masih memerlukan waktu untuk pembahasan lebih lanjut,” ujarnya.
Maka dari itu, agar RUU PKS bisa mencapai target Agustus, maka Vennetia mengungkapkan bahwa KPPA akan intens bertemu dengan kementerian, lembaga, dan institusi lain untuk terus membahas RUU PKS. “Kita akan ajak Komnas HAM, LPSK, Ombudsman, dan lembaga lainnya untuk terus memberi sosialisasi pentingnya RUU PKS ini kepada masyarakat,” ujarnya.
“Meskipun baru intensif setelah pemilu, hal itu bukan berarti kita diam. Nanti kita akan buat diskusi, kalau ada kekurangan di RUU PKS ini akan kita sempurnakan lagi,” ucapnya.
Tak hanya pemerintah saja, sebelumnya, pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memberikan dukungan terhadap RUU PKS. MUI beralasan bahwa keberadaan RUU PKS itu bisa mendorong agar masyarakat tidak masuk ke praktik seksual menyimpang. Wakil Sekjen MUI Amirsyah Tambunan mengatakan, pihaknya masih melakukan kajian terhadap RUU PKS.
“Jadi UU ini sebenarnya lebih kita ingin melihat bagaimana masyarakat agar tidak masuk kepada sebuah praktik yang jelas-jelas menyimpang. Ya seperti perzinaan itu kan menyimpang, perkawinan sejenis menyimpang, seksual bebas menyimpang itu. Jadi penyimpangan-penyimpangan ini harus dicegah. Adapun KUHP yang sekarang itu belum tegas mengatur itu,” kata Amirsyah di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin, 25 Maret 2019.
Perlu diketahui bahwa RUU PKS ini sendiri merupakan inisiatif DPR pada April 2017 dan draft-nya sudah disampaikan ke Presiden Joko Widodo. Pada bulan itu juga, Presiden Jokowi menunjuk panitia antar kementerian atau PAK yang terdiri dari 11 kemeterian dan lembaga. PAK tersebut sepakat menunjuk KPPPA sebagai pemimpin untuk pembahasan RUU ini.
RUU PKS sendiri hanya mengatur masalah kekerasan seksual saja. Baik yang dilakukan laki-laki maupun perempuan. RUU ini juga untuk menjawab kekosongan hukum bahwa setiap tubuh seseorang itu harus mendapat perlindungan hukum, bukan berarti melegalkan zina dan pro LGBT.