Anjuran atau peraturan yang datangnya entah dari mana asalnya semakin banyak beredar, ya. Belum selesai dengan RUU Permusikan yang lagi dikaji ulang sama anggota DPR, eh ada lagi peraturan baru. Kali ini, peraturan tersebut berisi mengenai pembatasan waktu tayang untuk lagu-lagu tertentu oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat. KPID Jawa Barat, tanggal 18 Februari 2019 kemarin, baru aja ngeluarin surat edaran yang menganjurkan untuk seluruh radio membatasi penayangan 17 lagu yang dianggap mereka masuk ke kategori dewasa. Lagu-lagu ini masuk ke kategori dewasa dan cuman boleh ditayangkan pada jam 10 malam hingga 3 pagi. Dari lagu-lagu tersebut, beberapa di antaranya Dusk Till Dawn oleh Zayn Malik, Wild Thoughts DJ Khaled ft. Rihanna, dan Overdose oleh Chris Brown ft. Agnez Mo.
Pembatasan ini pun membuat Indonesia, khususnya KPID Jawa Barat, menjadi bulan-bulanan media asing. Reuters mengabarkan berita ini dengan headline ‘Jawa Barat Membatasi Lagu Pop Asing Dewasa’. Begitu pun dengan majalah ternama TIME dalam salah satu tulisannya yang terbit pada 27 Februari kemarin. Lebih parahnya lagi, salah satu penyanyi internasional ternama, Bruno Mars, sampai mengomentari keputusan ini dalam sebuah cuitannya. Bruno Mars sturut menjadi korban karena lagunya yang berjudul “Versace on the Floor” masuk ke dalam daftar tersebut.
Dear Indonesia, I gave u the wholesome hits “Nothin On You,” “Just The Way You Are,” & “Treasure.” Don’t lump me in with that sexual deviant— Bruno Mars (@BrunoMars) February 27, 2019
Ekspresi dan Pengalaman Terliar, Kok Dibatasi?
Pembatasan ini terbilang cukup unik. Masalahnya, lagu itu kan sebuah seni yang proses kreativitasnya berasal dari pikiran yang paling liar. Membatasi sebuah konten musik karena ada unsur yang dianggap bertabrakan dengan norma dan nilai tetap saja mencederai seni itu sendiri. Dalam urusan ‘sepele’ seperti ini, biarkan masyarakat yang menilai apakah lagu tersebut layak untuk didengarnya atau tidak. Toh, yang menumbuhkan dan melanggengkan norma dan nilai adalah masyarakat itu sendiri. Peraturan hanya melegalisasi apa yang dianggap benar oleh masyarakat. Kalau masyarakatnya saja tidak keberatan, seharusnya para pengambil kebijakan dapat menyikapinya dengan lebih bijak.
Yakin Efektif?
Selain karena alasan bahwa seni adalah hal yang bebas dan seharusnya didorong lebih jauh lagi dalam konteks kreativitas, satu hal lain yang membuat peraturan ini unik adalah seolah-olah, sumber hiburan masyarakat masih terkonsentrasi hanya di radio dan TV. Dahulu, di masa internet belum menjadi sumber hiburan dan informasi, kontrol seperti ini memiliki kemungkinan efektivitas yang jauh lebih besar. Ketika masyarakat tidak punya pilihan lain selain apa yang tersedia di radio dan televisi, masyarakat mau tidak mau mengkonsumsi apapun yang tersedia.
Untungnya, sekarang sumber hiburan masyarakat tidak lagi hanya berupa TV dan radio. Masyarakat sudah mengenal internet dan dapat mengakses hiburan dari sana. Komisi Penyiaran secara umum kan tidak bisa mencegah apa yang dikonsumsi seseorang dalam akun YouTube atau Spotify-nya. Kalau memang lagu-lagu tersebut dilarang di radio, ya masyarakat tinggal mengakses dari platform hiburan yang sudah ada.
Menghambat Pertumbuhan Industri
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah pembatasan-pembatasan seperti ini justru menghambat perkembangan industri hiburan di Indonesia. Salah satu logika yang sederhana adalah kalau lagu-lagu semakin banyak yang dilarang, tentu masyarakat akan berpindah dari radio ke platform lain seperti YouTube dan Spotify. Akibatnya, radio akan semakin ditinggalkan. Radio pun kehilangan pendengar dan justru kesulitan untuk bersaing dengan platform lainnya. Seharusnya, pemerintah Indonesia mempersiapkan regulasi yang justru mendorong industri informasi dan hiburan Indonesia untuk makin lebih berkembang ke depannya.