Tahun Baru Tiongkok yang dirayakan setiap tahunnya oleh masyarakat Tionghoa memiliki banyak makna yang mendalam. Di Indonesia sendiri, perayaan itu disebut dengan Imlek, yang katanya berasal dari dialek Hokkian, im artinya lunar atau bulan dan lek artinya kalender. Dengan demikian tahun baru Imlek artinya tahun baru yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Pergantian inilah yang kerap dijadikan perayaan besar hingga dibuatkan festival khusus.
“Bulan pertama dalam kalender Imlek adalah awal musim semi dan tahun baru. Festival ini menjadi yang terpenting dan umumnya berlangsung selama 15 hari. Ada daerah yang bahkan merayakan sebulan penuh,” dikutip dari buku 5000 Tahun Ensiklopedia Tionghua 1 karya Christine dan kawan kawan, terbitan St Dominic Publishing tahun 2015.
Ada beragam tradisi yang perlu dilakukan saat menyambut perayaan ini. Seperti membersihkan rumah dan makan bersama keluarga besar malam sebelum Imlek. Sebab pada dasarnya,Imlek memang kerap menjadi ajang silaturahmi sekaligus berbagi rezeki. Namun, di hari kedua, ketujuh, dan kesembilan, barulah Imlek dirayakan dengan cara beribadah sesuai keyakinan masing-masing.
Perlu diingat, bahwa Imlek pada dasarnya suatu perayaan tradisi menyambut musim semi dan berakhirnya musim dingin yang dilakukan oleh suku bangsa Tionghoa di Tiongkok. Kemudian dalam perkembangannya tradisi itu ditetapkan sebagai hari penggantian tahun. Namun tidak sedikit orang yang salah mengartikan Imlek sebagai hari raya agama Buddha karena banyak vihara yang merayakannya.
Lambang Hewan dan Alam Sebagai Simbol Keseimbangan Ekosistem
Pada perayaan Imlek kita kerap melihat simbol-simbol hewan dalam berbagai ornamen. Bahkan tiap tahunnya, kita akan disuguhkan dengan nama hewan sebagai pelambangan zodiak yang biasa disebut dengan Shio. Dalam astrologi Tionghoa, ada 12 hewan yang diambil sebagai lambang dua belas cabang bumi. Keduabelas shio tersebut adalah tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan babi.
Selain shio,ada juga sebuah tradisi yang berkaitan dengan hewan yaitu Fanghsheng. Fangsheng adalah tradisi melepaskan binatang seperti burung, ikan, kura-kura ke alam bebas. Pada umumnya mereka membeli binatang-binatang tersebut untuk dilepaskan lagi.
Fangsheng dianggap merupakan tradisi agama Buddha Mahayana Tiongkok, untuk memberikan keadilan pada semua makhluk hidup. Namun saat ini ada beberapa orang yang sudah tidak begitu menyetujui fangsheng. Taoism dalam kitab Chongxu misalnya yang dengan tegas menolak cara fangsheng sebagai cara yang disebut melakukan budi besar. Sebab mereka yang menjual hewan di pasar pada dasarnya sudah melakukan penangkapan.
Selain hewan, Imlek juga identik dengan simbol-simbol alam. Hal ini terjadi salah satunya karena pergantian tahun dalam Tionghoa adalah penyambutan dari musim dingin ke musim semi. Maka tak heran terkadang ada beberapa masyarakat yang merayakannya sesuai dengan agama mereka masing-masing sebagai ucapan syukur.
Dalam Buddha misalnya, para umatnya akan melakukan sembahyang baik itu di vihara maupun di klenteng. Aroma dupa dan asap akan membumbung memenuhi seluruh ruang persembahyangan. Setidaknya ada tiga dupa yang biasanya dipegang umat Buddha, dupa pertama adalah tantang ketuhanan, dupa kedua adalah tentang bumi, dan dupa yang ketiga adalah tentang manusia. Ketiganya disebut Thian Tie Ren atau Tuhan, Bumi, Manusia.
Lambang hewan dan alam sebagai bentuk keseimbangan ekosistem memang tak bisa dipisahkan dari ajaran yang dianut dalam agama Buddha. Kepedulian terhadap hutan dan pohon bahkan dapat dilihat dalam Vanaropa Sutta (S.I.32) yang dengan jelas Buddha mengapresiasi peran hutan, pohon, dan alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan.
Dalam Vinaya Buddha bahkan menetapkan bahwa seorang bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah. Agama Buddha mengenai sikap tanpa kekerasan, tidak hanya berlaku terhadap semua makhluk hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan dan alam.
Paradigma perlindungan dan pengelolaan lingkungan menurut ajaran agama Budha tercermin dari ayat suci ini, “Bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya, pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa” (Dhp. 49).
Pergantian musim dalam Imlek pun juga mampu menjadi penanda, apakah ekosistem alam di bumi ini masih terjaga atau sudah banyak berubah karena ulah manusia yang serakah.