Utang Indonesia terus nambah tiap tahunnya? Ya, itu memang kenyataannya demikian. Di November 2018 kemarin, pemerintah pusat udah punya utang sebanyak Rp 4.395,9 triliun, yang artinya itu nambah sampai Rp 467,3 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tapi, apakah itu masuk dalam kategori yang mengerikan? Belum tentu!
Faisal Basri, seorang pakar ekonomi dalam wawancara di program Pangeran Mingguan memberikan gambaran sederhana, tentang utang yang enggak bisa dilihat hanya dari nominalnya saja. Kata Faisal, utang Indonesia memang terus bertambah, tapi pendapatannya pun juga ikut bertambah. Ia pun memberikan ilustrasi agar lebih mudah dipahami.
“Saya memberikan contoh misalnya saya berutang 100, tapi pendapatan saya 50. Anda berutang 1000, tapi pendapatan anda 2000. Utang saya kan jauh lebih kecil dari anda kan? Tapi masalah utang saya lebih dalam karena hutang saya lebih besar dari pendapatan,” ujarnya dalam video di YouTube Asumsi pada Kamis, 31 Januari 2019 kemarin.
Contoh lainnya yang lebih mudah soal gambaran utang yang tak bisa dilihat dari besaran nominalnya saja. Misal nih, Mawar punya utang 6 ribu ke temennya, dan Melati punya utang 10 ribu. Kalau cuman dilihat dari nominalnya doang, memang Melati punya utang lebih banyak. Tapi, si Melati duit jajannya sehari 20 ribu, sedangkan si Mawar dikasih jajan 2 ribu. Artinya, Mawar butuh waktu 3 hari demi membayar utang, tapi Melati bisa bayar kapan aja, karena dia punya uang lebih banyak.
Baca juga: Fuad Bawazier, Menkeu Era Soeharto yang Soroti Utang Negara di Pemerintahan Jokowi
Nah, dalam ilmu ekonomi makro yang skalanya lebih besar, utang juga enggak bisa dilihat hanya dari nominalnya aja. Kalau tadi utangnya Mawar dan Melati berpatokan dari uang jajan perhari yang biasa mereka dapetin, utang negara juga perlu diliat berdasarkan dari pendapatan. Dari mana pendapatan itu? Asalnya dari barang dan jasa yang dihasilkan dalam jumlah besar, itulah yang disebut produk domestik bruto (PDB).
Data dari Bank Indonesia, rasio atau perbandingan antara utang luar negeri (ULN) Indonesia dengan PDB masih sebesar 34 persen. Angka tersebut merupakan gabungan antara utang luar negeri pemerintah, korporasi, dan perbankan. Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara angka 34 persen itu masih bisa dibilang aman.
Perlu diketahui, kalau di negara-negara Uni Eropa, aturan batas utang terhadap PDB itu maksimal 60 persen. Hal ini, kata Faisal Basri, sama dengan Undang-Undang Keuangan yang ada di Indonesia. “Nah kita juga menerapkan batas itu diundang-undang keuangan negara kita pas 60 persen,” kata Faisal Basri.
Jadi, bisa kita simpulkan, utang negara Indonesia masih dalam batas aman. Lalu bagaimana dengan Amerika dan Jepang sebagai negara maju yang katanya memiliki rasio utang lebih besar dibanding Indonesia?
Rasio Utang Jepang, Amerika, dan Indonesia
Seperti yang kerap disebut-sebut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, rasio utang negara Indonesia masih lebih kecil dibandingkan dengan Jepang dan Amerika. Ini juga yang dijelaskan oleh Faisal Basri, di mana Jepang rasio utangnya mencapai 250 persen dan Amerika Serikat sebesar 105 persen. Artinya, Jepang dan Amerika memiliki utang lebih besar daripada pendapatannya.
Tapi sekali lagi, rasio utang enggak bisa lihat hanya dari nominalnya aja. Bahkan selain pendapatan ada faktor lain, lho untuk menilai apakah utang itu sudah masuk dalam stadium akut atau tidak. “Nah sekali lagi jangan dilihat dari jumlahnya, jadi kemampuan, potensi kemampuan membayarnya,” kata Faisal.
Meskipun punya rasio utang lebih besar berkali-kali lipat, Jepang sendiri juga memberikan utang kepada negara lain termasuk ke Indonesia dan Amerika. Bahkan ditulis dalam blog pribadi milik Faisal Basri, Jepang tercatat sebagai negara pemegang surat utang pemerintah negeri Paman Sam terbesar kedua setelah Tiongkok.
“Sekalipun nisbah utang pemerintah Jepang delapan kali lipat lebih tinggi dari Indonesia, harus diingat bahwa Jepang bukan sekedar berutang. Tetapi juga memberikan utang kepada negara lain termasuk kepada Amerika Serikat dalam bentuk surat utang yang dibeli Jepang dan kepada Indonesia dalam bentuk pinjaman, maupun surat utang yang dikeluarkan pemerintah Indonesia,” tulis Faisal dalam blog pribadinya.
Dari gambaran yang telah disebutkan di atas, utang memang tidak bisa hanya dilihat dari nominal saja, tapi dilihat juga dari pendapatan, pengeluaran, piutang yang diberikan kepada pihak lain, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, di tengah-tengah panasnya perdebatan politik tentang masalah utang negara, ada baiknya tidak ikut-ikutan berfokus pada kenaikan angka utangnya saja.