Dalam atmosfir politik nasional yang tengah panas sekarang ini, agaknya kian banyak terdengar corong-corong suara berbagai kubu politik yang gegabah dalam memberikan pernyataan, sengaja maupun tidak, yang lantas menyulut kemarahan publik.
Terakhir, Haikal Hassan, juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, sosok yang kerap ditampilkan citra keulamaannya (walau menariknya, di Twitter ia menyebut bahwa dirinya bukan ustadz maupun ulama), menulis twit tentang bagaimana dahulu Boedi Oetomo (BO) menghina Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan penzina dalam salah satu korannya, Djawi Hisworo, 11 Januari 1918.
Untungnya, pernyataan tersebut buru-buru diklarifikasi oleh para sejarawan ‘partikelir’ kondang semisal JJ Rizal dan Bonnie Triyana. Pelaku sebenarnya kontroversi tersebut, yang cukup menghebohkan orang-orang Jawa seabad lalu, nyatanya adalah dua sosok bernama Djojodikoro (penulis) dan Marthodarsono (pemimpin redaksi), yang justru lebih lekat dengan Sarekat Islam (SI) daripada BO. Bahkan, respon besar SI terhadap kasus tersebut lebih pas jika disebut sebagai bagian dari pertarungan internal antara SI Merah dan SI Putih dalam berebut pengaruh internal.
Menariknya, hal itu dapat dikomparasikan dengan kasus-kasus serupa di masa kontemporer ini.
Pertama, kasus tersebut seakan terlihat sebagai tunggangan aktor-aktor politik yang berkepentingan. Terlepas dari ketulusannya membela agama, nyatanya sosok SI yang paling bertanggung jawab dalam memobilisasi protes massa terhadap Djojodikoro dan Marthodarsono tersebut, yakni Cokroaminoto, berakhir diuntungkan secara politis. Ia terpilih menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) sebagai perwakilan SI. Bahkan pada April 1918, selang sebulan dari pengangkatan Cokroaminoto, isu penistaan tersebut sudah tak terdengar lagi.
Kedua, serangan terhadap Djawi Hisworo, yang memang merupakan surat kabar milik BO, agaknya awalnya direncanakan memang bukan karena penistaan agamanya; namun kekecewaan politis, dalam hal ini, kelompok SI terhadap Dewan Rakyat yang hanya memberikan satu kursi untuk SI. Sebaliknya, kelompok BO diberikan beberapa lebih banyak. Karenanya, tulisan di Djawi Hisworo itu baru meledak nyaris tiga minggu setelah pemuatannya, karena selama jeda antara 11 Januari dan 30 Januari itulah peristiwa pemilihan anggota Dewan Rakyat yang merugikan SI itu tengah berlangsung.
Akar perseteruan BO dengan SI setidaknya sudah terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya karena BO mendukung pembentukan Milisi Bumiputra, tentara rakyat kolonial untuk mempertahankan Hindia Belanda selama Perang Dunia I, yang ditentang oleh SI. Nama BO memang saat itu cukup tenggelam di kalangan kelompok pergerakan, khususnya SI, mengingat coraknya yang konservatif dalam menghadapi pemerintah kolonial; sikap yang justru membuat BO lebih didengar pemerintah Belanda. Tentu SI geram, padahal saat itu mereka adalah organisasi pribumi terbesar di Hindia Belanda.
Kini, perdebatan di antara BO dan SI sudah melesat ke dalam wacana siapa di antara kedua organisasi itu yang paling sah untuk disebut sebagai pelopor dalam kronik pergerakan nasional.
Narasi dari pemerintah yang telah diterima secara umum memang menyebutkan bahwa BO dapat dikategorikan sebagai pemula utama karena sebab-sebab teknis, seperti tahun pembentukan (1908) dan kejelasan anggaran serta strukturnya yang mencirikan BO sebagai organisasi modern. Pada 1958, Sukarno menyebut BO layak sebagai yang pertama karena pendiriannya adalah bentuk kemenangan sebuah asas (beginsel); bahwa tidak ada sebuah bangsa yang mau diperintah oleh bangsa lain. Terlepas dari nihilnya ambisi politik BO di awal pembentukannya, sebab-sebab tersebut dirasa menjadi penjelasan yang cukup memuaskan.
Yang jadi masalah adalah, ketika corak sejarah BO yang cenderung konservatif ini dinegasikan, khususnya oleh orang-orang berkepentingan di masa kini, secara serampangan untuk melegitimasi SI atau organisasi-organisasi bercorak Islam lain yang dianggap keras terhadap Belanda. Bahkan lebih jauh, berupaya mengerdilkan rekam jejak elemen-elemen non-Islam dengan sumber-sumber sejarah bermasalah yang menyulut debat emosi, bukan nalar ataupun akal sehat. Tafsir terhadap masa lalu adalah hal yang sah, asalkan didukung data yang kredibel dan argumen yang meyakinkan.
Terlebih lagi, Indonesia adalah negara yang lahir dari sebuah usaha patungan luar biasa orang-orangnya di zaman merenggut kemerdekaan dahulu, juga orang-orang di masa kini dalam hal mengisi kemerdekaan. Pengakuan sepihak dan emosional yang menyatakan bahwa hanya kubu ini atau itu yang paling berjasa dalam gerak sejarah Indonesia adalah sebuah arogansi dan kealpaan luar biasa, yang jika dibiarkan terus-menerus, niscaya bakal meruntuhkan pilar-pilar persatuan Indonesia yang berlandaskan pada keberagaman.
Tentu kita juga tidak boleh secara naif tidak menyadari bahwa masa lalu kerap menjadi front atau garis depan pertarungan antar kubu dalam tahun-tahun politik. Nama-nama yang seharusnya saya rasa sudah lebih cocok menjadi bahan pembelajaran saja, semisal Sukarno, Suharto, PKI, BO, dan lain-lain kini hidup lagi dengan lakon-lakon rekaan orang-orang yang mencari benefit politik darinya. Saya melihatnya sebagai bentuk nihilnya rasa percaya diri dan kreativitas para politisi dalam mengemas visi-visi politiknya di masa kontemporer ini.
Padahal, membicarakan masa lalu secara akademis dan beradab saja perlu kehati-hatian tinggi, apalagi jika dikaitkan dengan stempel-stempel kepentingan politik. Kebijaksanaan menafsirkan sejarah kian diperlukan.
Kekeliruan terkait masalah BO dan penistaan agama mengajarkan kita bahwa baik orang-orang dari kubu Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandiaga harus lebih berhati-hati dalam menyertakan sejarah dalam narasi-narasi politiknya. Ini sejalan dengan upaya bersama kita semua untuk melawan hoaks dan pembodohan, yang harus diakui saat ini tengah menghantui banyak aspek-aspek kehidupan sosial, politik, budaya, dan ekonomi bangsa Indonesia dengan narasi-narasi pertengkarannya alih-alih kesejukan dan perdamaian.
Rahadian Rundjan adalah penulis yang menggemari sejarah, sains, dan budaya populer. Dapat dihubungi di @rahadianrundjan.