Pembubaran sebuah kelompok diskusi kembali terjadi. Kepolisian Resor Jayapura menangkap 107 orang yang menghadiri diskusi dalam rangka HUT Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Asrama Mahasiswa Pegunungan Bintang di kawasan Waena, Kota Jayapura, Senin 19 November 2018. Lalu, mereka ditahan selama belasan jam di Mapolresta Jayapura. Sampai akhirnya dibebaskan kembali.
Setelah diperiksa di Mapolres Jayapura, Papua, 107 orang anggota KNPB dan Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Markus Haluk akhirnya dibebaskan polisi pada Selasa, 20 November 2018, pada pukul 01.00 WIT dini hari. Seperti apa kronologi yang sebenarnya? Apa yang terjadi?
Kapolres Jayapura Kota Ajun Komisaris Besar Gustav Urbinas membenarkan adanya pembubaran acara diskusi dalam rangka HUT KNPB tersebut. Gustav menjelaskan bahwa awalnya polisi mendapat laporan bahwa peringatan HUT KNPB di Asrama Pegunungan Bintang itu lebih banyak dihadiri warga di luar penghuni asrama.
Terkait hal itu, Gustav mengatakan bahwa pihak kepolisian dibantu TNI akan terus membubarkan kegiatan upaya makar di wilayah hukum Polres Jayapura Kota. Namun, meski membenarkan pembubaran tersebut, pihak kepolisian justru menolak jika mereka dianggap melakukan penangkapan.
Seperti dilansir dari Tirto, Rabu, 21 November 2018, polisi menegaskan bahwa tak ada penangkapan atas peristiwa tersebut. Melalui Kabid Humas Polda Papua Ahmad Mustofa Kamal, pihak kepolisian menjelaskan bahwa mereka hanya menjalankan tugas yang mengacu pada aturan yang berlaku. Sementara seperti diketahui, ada sekitar 126 orang yang dibawa ke Polres Jayapura Kota, sementara versi polisi ada 107 orang.
“Kelompok yang menamakan dirinya KNPB, bukan ditangkap, tapi kegiatan mereka dibubarkan karena tidak ada pemberitahuan kepada Polresta Jayapura,” kata Kamal, Selasa, 20 November 2018.
Berdasarkan penjelasan Kamal, ratusan orang tersebut hanya dimintai keterangan saja. Ia mengungkapkan bahwa KNPB sebagai kelompok ilegal lantaran belum terdaftar secara resmi di Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri (Kesbangpol) Provinsi Papua. Lebih jauh, ia menyebut kegiatan KNPB lebih mengarah ke aksi politik separatis sehingga akhirnya dibubarkan.
Selain meminta keterangan, pihak Polres Jayapura Kota juga menyita berbagai barang dari panitia diskusi KNPB. Barang-barang yang diangkut pihak kepolisian tersebut dibawa menggunakan dua truk, misalnya seperti dua spanduk bertuliskan “Kongres Ke-II KNPB, Sadar dan Lawan: Membangun Kesadaran dan Kekuatan Perlawanan Dalam Negeri untuk Mengusir Praktek Militerisme, Kolonialisme, Kapitalisme, dan Imprealisme”.
Selain spanduk, barang-barang lain yang diangkut adalah satu unit printer, satu baju bermotif bintang kejora, dua noken bercorak bintang kejora, dan 17 unit sepeda motor tanpa surat resmi.
Berbeda halnya dengan penjelasan dari pihak KNPB sendiri yang mengatakan bahwa pembubaran diskusi tersebut sempat diserta tindak kekerasan. Juru Bicara KNPB, Ones Suhuniap menjelaskan bahwa ratusan lebih orang ditangkap secara paksa di Asrama Mahasiswa Pegunungan Bintang saat hendak menggelar diskusi publik memperingati ulang tahun ke-10 organisasi. Ia menyebut tindakan polisi itu justru tanpa memperlihatkan surat tugas, surat penggeledahan maupun surat penangkapan.
“Kami merencanakan untuk melakukan diskusi publik untuk merefleksi perjalanan selama 10 tahun karena kemarin (19 November) itu hari ulang tahun KNPB yang ke-10. Lalu, polisi mendatangi sekretariat KNPB pusat jam 10.00 WIT, melakukan penggerebekan dan merusak fasilitas kantor,” kata Ones, Selasa, 20 November 2018.
Kemudian, sambung Ones, pihak kepolisian langsung membubarkan kegiatan diskusi publik tersebut dan menangkap 107 orang secara sewenang-wenang tanpa surat perintah penangkapan. Saat kejadian, Ones memperkirakan ada lebih dari 150 anggota polisi yang mendatangi sekretariat pusat KNPB, tanpa menunjukkan surat tugas maupun surat penggeledahan.
Terkait tindakan polisi tersebut, Ones pun sangat menyayangkan tindakan aparat yang tampak sewenang-wenang dalam betindak. Apalagi, tak adanya surat perintah penangkapan semakin menegaskan bahwa polisi telah melanggar aturan hukumnya sendiri.
Tak hanya mendapatkan tindakan respresif melalui pembubaran paksa diskusi dan penangkapan saja, menurut Ones, pihak kepolisian juga melakukan tindak kekerasan fisik ke anggota KNPB saat penggerebekan. “Dua orang yang dipukul polisi saat penangkapan dan pembubaran.”
Bahkan, dua anggota KNPB yang sedang memasak menjadi korban tindak kekerasan ketika aparat gabungan bersenjata laras panjang datang. Anggota KNPB tersebut ada yang diinjak aparat gabungan, lalu ada juga yang dipukul di punggung belakang. Selain itu, anggota KNPB yang diinjak itu juga dipaksa mengakui untuk kegiatan apa masak.
Tak hanya itu saja, papan tulis berisi catatan kegiatan diskusi KNPB juga dicoret dengan cat biru. Lalu, bagian pintu dicoret dengan cat biru bertuliskan “NKRI”. “Semua dikasih rusak, uang panitia juga diambil. Alat masak dikasih bocor dengan sangkur, kemudian yang dimasak dikasih tumpah dan diinjak-injak semua makanan yang sudah dimasak,” kata Ones.
“Makanan itu kan harus dihormati. Memang polisinya itu makan batu baru hidup? Itu kutukan akan kena di polisi.”
Ones mengatakan bahwa sampai saat ini pihaknya belum menerima penjelasan dari kepolisian mengenai alasan pembubaran paksa kegiatan diskusi tersebut. Padahal, lanjut Ones, hak untuk berkumpul dijamin melalui UUD 1945 Pasal 28.
Menurut Ones, UU menjamin tentang orang berserikat berkumpul untuk menyampaikan pendapat, apalagi diskusi publik itu adalah kegiatan ideal yang seharusnya polisi tidak perlu membubarkan dan melakukan penangkapan. Ia pun menyayangkan perlakuan sewenang-wenang aparat terhadap para anggota KNPB. Ia pun menyayangkan perlakuan sewenang-wenang aparat terhadap para anggota KNPB. “Yang kami sesalkan itu adalah tindakan kepolisian sangat brutal, itu menunjukkan tindakan premanisme.”
Aksi pembubaran paksa diskusi tersebut tentu mencoreng demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia. Apalagi, baik Pasal 28 maupun Pasal 28E ayat (3), dengan jelas menegaskan mengenai hak berserikat dan berkumpul, dengan hak mengeluarkan pendapat.
Apalagi, perumusan ini sangat erat kaitannya dengan sejarah instrumen hak asasi manusia universal, di mana freedom of expression, freedom of peaceful assembly and association diatur dengan rapi. Lebih jauh, hak atas kemerdekaan berserikat itu juga sangat erat kaitannya dengan hak kemerdekaan pikiran dan berpendapat.
Sebelumnya, sudah pernah terjadi aksi pembubaran diskusi secara paksa. Insiden pembubaran diskusi mahasiswa Papua di Malang, terjadi pada 1 Juli 2018. Acara itu digelar oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Malang untuk memperingati Proklamasi Negara West Papua yang Ke-47.
Aksi pembubaran sendiri dilakukan sekelompok warga bersama Ketua RT setempat. Polres Malang Kota mengklaim penolakan diskusi itu murni dilakukan warga. Namun, juru bicara AMP Malang Yohanes Geai kala itu heran lantaran selama sembilan tahun dirinya tinggal di Dinoyo, Malang, tak pernah ada warga yang keberatan saat AMP berdiskusi soal aspirasi kemerdekaan Papua.
Tak hanya itu saja, pada Jumat, 06 Juli 2018, kembali terjadi insiden pembubaran diskusi dan nobar film dengan tema “Peringatan 20 Tahun Peristiwa Biak Berdarah (1998)” yang dilaksanakan oleh mahasiswa Papua di Asrama Papua, Jl. Kalasan, Surabaya. Berdasarkan laporan KontraS Surabaya, bahwa sejak sore sekitar pukul 15.00 WIB sejumlah personel petugas polisi terlihat mengawasi asrama mahasiswa Papua di Jl. Kalasan Surabaya.
Saat itu, rencananya mahasiswa Papua akan menyelenggarakan diskusi dan nobar film dokumentasi tentang peristiwa Biak Berdarah pada pukul 18.00 WIB. Perlu diketahui bahwa “Biak Berdarah” sendiri merupakan peristiwa kekerasan antara aparat keamanan dan warga sipil Papua yang terjadi pada 6 Juli 1998.