Hari ini (19/11), Gedung Granadi disita oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gedung ini adalah gedung kantor Humpuss, grup perusahaan yang memiliki sepuluh anak perusahaan, milik Tommy Soeharto. Tim eksekutor yang menyita memang masih menunggu hasil penilaian aset Gedung Granadi tersebut dari tim independen. Gedung Granadi sendiri diharapkan dapat menjadi aset untuk, setidaknya, menutupi kekurangan jumlah uang yang harus dikembalikan oleh keluarga cendana pada negara akibat penyelewengan dana Yayasan Supersemar. Apa itu Yayasan Supersemar?
Kejadian Supersemar memang begitu kontroversial. Bagaimana tidak, surat ini yang digadang-gadang berhasil menjadikan Soeharto sebagai Presiden kedua RI. Merasa memiliki legitimasi terhadap nama tersebut, di hadapan para rektor di Bina Graha di tanggal 27 Juli 1974, Soeharto meyakinkan rektor-rektor tersebut untuk menggunakan nama Supersemar sebagai nama yayasan pendidikan yang akan dibangunnya. Nama tersebut pun disetujui dan terciptalah Yayasan Supersemar.
Yayasan Supersemar adalah sebuah lembaga nirlaba yang dibangun oleh Soeharto dengan tujuan meningkatkan tingkat pendidikan bangsa dan mencerdaskan rakyat Indonesia. Hadirnya ide untuk membangun yayasan ini disambut hangat oleh berbagai pihak. Banyak orang, terutama dari kalangan pengusaha, menjadi pendonor untuk Yayasan Supersemar. Tidak butuh waktu lama, dana Rp1 miliar pun terkumpul pada tahun 1975. Soeharto pun mengundang para rektor perguruan tinggi negeri (PTN) Jakarta untuk membahas pelaksanaan beasiswa Yayasan Supersemar ini.
Pada awal kalender akademik 1975, Yayasan Supersemar berhasil memberikan beasiwa untuk 3.135 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri. Kategori penerima beasiswa ini pun dibagi dua rayon, yaitu Rayon A dan B. Rayon A diberikan uang sebesar Rp15 ribu per bulan; sedangkan Rayon B diberikan uang sebesar Rp12.500 per bulan.
Semenjak dibangun tahun 1975 ini, Yayasan Supersemar terus memperlebar aktivitasnya. Di tahun 1976, siswa SMTA kejuruan negeri diberikan bebasiswa. Dua tahun kemudian (1978), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) pun turut mendapatkan beasiswa Supersemar. Setiap tahunnya, penerima beasiswa Supersemar terus bertambah jumlahnya dan terus luas cakupannya.
Meskipun memiliki gagasan dan tujuan yang begitu mulia, ternyata Yayasan Supersemar tak luput dari kasus. Yayasan ini terbukti telah melakukan penyalahgunaan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan. Dana Yayasan Supersemar berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dana yang seharusnya diberikan oleh BUMN sebesar 5 persen kepada Yayasan Supersemar. Alih-alih memberikan semuanya, ternyata hanya 2,5 persen yang masuk ke Yayasan Supersemar. Sisanya, diselewengkan dengan dialirkan ke berbagai perusahaan seperti PT Bank Duta, PT Sempati Air, dan PT Kiani Lestari, perusahaan yang dikelola kroni Soeharto.
Di tahun 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun memutuskan Yayasan Supersemar bersalah atas penyelewengan dana tersebut. Hakim menetapkan bahwa yayasan tersebut harus membayar sebesar US$105 juta dan Rp46 miliar ke Indonesia, atau jika semuanya dirupiahkan senilai Rp4,4 triliun. Putusan itu pun diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta di tahun 2009. Sejauh ini, dari total Rp 4,4 triliun yang harus dibayarkan oleh Supersemar kepada negara, baru Rp 243 miliar yang dibayarkan Yayasan Supersemar. Dengan jumlah kekurangan yang masih begitu besar, pengadilan pun masih mencari aset lain yang bisa disita negara untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini lah yang membuat Gedung Granadi milik keluarga Cendana akhirnya disita oleh pihak PN Jakarta Selatan hari ini (19/11).
Di sisi lain, berkembang desas-desus bahwa gedung yang terletak di daerah Kuningan ini menjadi kantor DPP Partai Berkarya yang sedang maju dalam Pemilu 2019 untuk pertama kalinya. Namun Ketua DPP Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang membantah hal tersebut. Ia mengatakan bahwa kantor DPP partai berlambang pohon beringin ini terletak di Jalan Antasari, Jakarta Selatan. “Granadi bukan kantor DPP Berkarya,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada hari yang sama. Ia pun sekaligus meminta untuk tidak mengaitkan kasus ini dengan Partai Berkarya.