Nama Megawati Soekarnoputri masih tercatat sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sampai hari ini. Megawati pun heran kenapa kader PDIP selalu memilihnya sebagai ketua umum. Putri dari Presiden Pertama Soekarno itu pun bercerita mengenai masa jabatannya sebagai pimpinan PDIP di usianya yang sudah tak lagi muda.
“Saya ini ketua umum partai sampai hari ini. Ndak bosen-bosen orang milih saya,” kata Megawati saat berpidato di hadapan Pengurus Pusat Purna Paskibraka Indonesia (PPI), di Balai Sarbini, Jakarta, Sabtu, 10 November 2018 malam.
Bahkan, Megawati mengungkapkan bahwa dirinya sempat malu jika bertemu dengan ketua umum partai lain di usianya yang sekarang menginjak 71 tahun dan masih memimpin PDIP. Apalagi, jika melihat estafet kepemimpinan partai lain yang memiliki pimpinan lebih muda darinya. “Kadang kalau kumpul dengan ketua umum saya malu sendiri karena umur saya plus 17,” ujar Megawati yang disambut gelak tawa.
Dengan masa kepemimpinan yang amat panjang, tentu banyak pihak yang menduga-duga bagaimana strategi Megawati mendapatkan tampuk kekuasaannya di PDIP selama ini. Bahkan sempat ada orang yang bertanya bagaimana bisa dirinya menjadi ketua umum partai selama ini. Apakah harus menggunakan uang agar dipilih kembali atau tidak?
Megawati pun menegaskan bahwa dirinya sama sekali tak menggunakan politik uang untuk mendapatkan kursi ketua umum PDIP. Kepercayaan kader lebih penting di atas segalanya ketimbang bagi-bagi uang. “Ya enggak, saya tak punya uang. Ya mau jadikan saya syukur, enggak ya sudah. Kok susah amat,” katanya.
Megawati memang punya sejarah panjang dalam mengemban jabatannya sebagai ketum PDIP. Ia terjun ke dunia politik, merangkak dari bawah dengan menjadi Wakil Ketua PDI Cabang Jakarta Pusat pada 1986 silam. Lalu, setahun kemudian, ia menjadi anggota DPR RI. Saat itu Mega duduk di Komisi I.
Menariknya, karier politik Megawati di partai berlambang kepala banteng itu melesat terus menanjak. Istri dari mendiang Taufik Kiemas ini berhasil terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum dalam Kongres Luar Biasa PDI tahun 1993 di Surabaya. Namun, jabatan itu tak serta merta lancar diembannya, rintangan pun mulai mengikuti.
Pemerintah ketika itu tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Hingga pada akhirnya, Mega ‘disingkirkan’ dalam Kongres PDI selanjutnya yang berlangsung di Medan pada tahun 1996. Saat itu, Soerjadi pun terpilih sebagai Ketua Umum PDI yang baru menggantikan Mega.
Meski begitu, Megawati sendiri tak terima dengan kondisi tersebut sehingga ia pun tak mengakui Kongres Medan. Situasi kala itu pun membuat Megawati masih merasa dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Dampaknya pun terasa sampai kubu Megawati menguasai kantor dan perlengkapannya.
Kubu Megawati kala itu tetap berusaha untuk mempertahankan kantor DPP PDI dan tak ingin mundur selangkah pun. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat tersebut.
Sampai akhirnya situasi tak terkendali pun terjadi pada tanggal 27 Juli 1996, di mana kubu Soerjadi merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Akibat penyerangan tersebut, ada puluhan pendukung Mega meninggal dunia, sehingga berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli.
Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara. Sampai pada kejadian mengerikan itu, Megawati pun tetap ingin menyerah. Ia akhirnya menempuh jalur hukum, meski akhirnya gagal juga di pengadilan.
Setelah itu, Megawati lagi-lagi masih tetap pada pendiriannya. Maka situasi yang lebih rumit pun tak terbendung di mana PDI akhirnya terbelah menjadi dua kubu yakni kubu PDI Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Menariknya, kala itu pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah, sementara massa PDI lebih berpihak pada Mega.
PDI kubu Megawati pun membuktikan diri pada pemilu 1997. Terlihat jelas keberpihak massa kepada PDI pimpinan putri Soekarno itu, di mana perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Kala itu, sebagian massa Megawati berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah ‘Mega Bintang’, sedangkan ia sendiri memilih golput.
Puncaknya, pada gelaran Pemilu 1999, PDI pimpinan Megawati yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan sukses meraih kemenangan pada pemilu dengan meraup lebih dari 30 persen suara. Perolehan suara besar itu pun memicu desakan massa pendukung Megawati agar pimpinannya itu menjadi presiden. Jika tidak jadi presiden, maka ancamannya adalah revolusi.
Sayangnya, hasil Sidang Umum 1999 justru tak bersahabat, di mana KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur akhirnya terpilih sebagai Presiden. Saat itu, Megawati kalah dari Gus Dur dengan meraup total 313 suara, sementara Gus Duri meraih total 373 suara dalam voting suara pemilihan presiden.
Lalu, pada tahun 2000, PDIP menggelar Kongres I di Semarang, Jawa Tengah. Hasil kongres itu menetapkan Megawati sebagai Ketum PDIP setelah kembali terpilih. Setahun kemudian, Megawati menggantikan posisi Presiden Gus Dur, di mana Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2001, menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Gus Dur dicabut mandatnya oleh MPR RI.
Saat itu pun Megawati merangkap jabatan, di satu sisi baru saja diangkat menjadi Presiden RI, sementara dalam waktu bersamaan masih menjabat sebagai Ketum PDIP. Pada masa pemerintahan Megawati, Pemilu Presiden (Pilpres) secara langsung pun dilaksanakan. Periode Megawati ini pun dianggap sebagai tonggak proses demokratisasi di Indonesia. Sayangnya, Megawati justru kalah dalam Pilpres 2004. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil menang dan menjabat sebagai Presiden RI menggantikan Megawati.
Tak lagi menjadi presiden membuat Megawati kembali fokus mengurus PDIP. Pada 28 Maret 2005, Kongres II PDIP yang berlangsung di Sanur, Bali, diwarnai aksi sekelompok kader yang meminta reformasi di dalam tubuh PDI-P, dengan nama “Gerakan Pembaruan PDI-P”.
Saat itu, Megawati kembali terpilih secara aklamasi oleh sekitar 1.000 utusan PDI Perjuangan dari seluruh Indonesia sebagai Ketum PDIP periode 2005-2010. Konstelasi politik saat itu pun membuat PDIP memutuskan untuk berada di luar pemerintahan.
Memasuki 2010, PDIP menggelar Kongres III di Hotel Inna Grand Bali Beach, Bali, pada bulan April. Kongres kali ini tak ada yang berbeda karena masih memilih kembali Megawati sebagai Ketum PDIP. Lalu, pada Rakernas IV PDIP di Semarang, Megawati terpilih lagi jadi Ketum PDIP 2015-2020, lebih cepat dari biasanya atau satu tahun sebelum kongres digelar.
Dengan masa jabatan yang sudah terhitung lama ditambah lagi Megawati terus menua, rasanya PDIP memang sudah harus memikirkan regenerasi kepemimpinan. Namun, hal itu bukanlah pekerjaan mudah bagi internal PDIP mencari suksesor Megawati. Apalagi, Megawati merupakan sosok karismatik yang disegani.
Meski begitu, usulan-usulan untuk mencari pengganti Megawati pun sekali dua kali muncul. Sejak lama, sudah ada obrolan atau diskusi mengenai siapa kira-kira yang layak untuk menggantikan posisi Megawati sebagai Ketum PDP suatu hari nanti.
Yang jelas, jika memang harus ‘dipaksakan’ PDIP bergerak dengan pimpinan baru penerus Megawati, maka salah satu syarat yang rasanya akan muncul adalah soal latar belakang tokoh yang diusulkan. Tokoh-tokoh nantinya yang diharapkan bisa meneruskan estafet kepemimpinan dari Megawati adalah yang berasal dari trah Soekarno.
Alasannya cukup jelas bahwa sosok yang masih punya garis keturunan Soekarno memang diharapkan untuk memimpin PDIP. Apalagi memang sebagian besar kader PDIP diyakini masih terikat kuat dengan cita-cita Soekarnois. Misalnya saja ada nama Puan Maharani, Prananda Prabowo, dan Puti Guntur Soekarno.
Puan sendiri saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia pada Kabinet Kerja (2014-2019). Selain itu, Puan juga pernah menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP di DPR RI periode 2012-2014. Selain Puan, trah Soekarno lainnya adalah Prananda Prabowo, yang tercatat sebagai cucu dari Presiden Soekarno, putra kedua dari Megawati Soekarno Putri dari suami pertamanya, Letnan Satu Penerbang Surindro Supjarso. Saat ini, ia dipercaya menjadi Ketua Bidang Ekonomi Kreatif PDIP periode 2015-2020, di mana sebelumnya ia menjabat Kepala Ruang Pengendali dan Analisa Situasi.
Selain itu, ada juga nama Puti Guntur Soekarno. Perempuan bernama lengkap Puti Pramathana Puspa Seruni Paundrianagari Guntur Soekarno Putri ini merupakan seorang anggota DPR periode 2009-2014 dan 2014-2019 (Komisi X). Ia merupakan cucu dari Presiden Pertama RI Soekarno dari anak pertamanya, Guntur Soekarnoputra, yang menikah dengan Henny Emilia Hendayani.
Meski menyandang status cucu proklamator, Puti dinilai sebagai pribadi yang ramah, membumi, dan sangat egaliter. Sebelum terjun ke dunia politik, Puti Puti aktif belajar dan menjadi relawan budaya melalui Kelompok Swara Mahardhikka. Ia juga peduli pada pendidikan generasi muda melalui Yayasan Fatmawati Soekarno. Ketekunannya di yayasan tersebut lah yang akhirnya membuat dirinya berhasil masuk ke Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, kebudayaan, pemuda, olah raga, pariwisata, ekonomi kreatif, dan perpustakaan nasional.
Namun, jika pun ada tokoh-tokoh lain di luar trah atau dinasti Soekarno, sosok tersebut harus bisa meneruskan ide-ide Soekarno yang selama ini sudah jadi bagian dari PDIP. Sejumlah kandidat itu misalnya saja Joko Widodo, Ganjar Pranowo, Pramono Anung, sampai Joko Widodo. Tengok saja Ganjar Pranowo misalnya yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah untuk periode keduanya.
Lalu, ada pula Pramono Anung yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Kabinet di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo. Pramono juga dikenal sebagai sosok politisi senior di PDIP yang cukup disegani dan pernah menjabat Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014. Kemudian, yang terakhir ada nama Presiden RI Joko Widodo. Sosok petahana yang saat ini tengah bertarung untuk mempertahankan kekuasannya di Pilpres 2019 juga bisa menjadi opsi untuk menjadi suksesor Megawati. Selain ramah dan santun, Jokowi juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya.