Keterlibatan militer dalam politik di Indonesia memiliki sejarah panjang. Entah kapan tepatnya militer Indonesia mulai mengambil peran dalam panggung politik, yang jelas konsep ‘jalan tengah’ Jenderal Nasution serta Dwifungsi ABRI merupakan tonggak awal dari politik tentara.
Sejak Indonesia merdeka, tugas militer yang sebelumnya berperang memperjuangkan kemerdekaan, justru berkurang. Seperti tidak ada lagi hal-hal genting yang harus dilakukan, apalagi jika memang kondisi negara sudah benar-benar aman, nasib tentara pun seperti menggantung.
Sepertinya memang tentara pelan-pelan mulai mengambil tempat dalam perpolitikan tanah air sejak diberlakukannya Undang-undang Keadaan Darurat Perang (Martial Law) atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB) pada 1957. Penerapan SOB ini adalah inisiatif dari Jenderal Nasution yang disetujui Sukarno.
Langkah itu diambil mengingat situasi negara saat itu darurat lantaran aksi separatis. Meski begitu, di sisi lain, SOB ini justru membuka jalan bagi militer untuk mengambil tindakan apa pun yang dianggap perlu dalam keadaan yang lebih gawat seperti mengeluarkan perintah/peraturan yang menyangkut ketertiban umum dan keamanan ketika kondisi darurat perang.
Jenderal Nasution pernah mengatakan kepada Presiden Sukarno pada 1958 silam bahwa tentara tertap ingin meneruskan peran tersebut setelah darurat militer dicabut. Nasution menawarkan konsep ‘jalan tengah’ yang membuka jalan bagi militer (AD) untuk berperan dalam pemerintahan sipil dan turut serta menentukan kebijaksanaan negara.
Konsep ‘jalan tengah’ pun terus dimatangkan Nasution terutama dalam Seminar Angkatan Darat II di Bandung pada 25-31 Agustus 1966. Setelah itu disepakati dan ditetapkan bahwa AD diperbolehkan menjalankan perannya di luar militer seperti berpartisipasi dalam setiap usaha dan kegiatan masyarakat di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Baca Juga: Aroma Politik Jenderal di Pilkada 2018: Antara Barak dan Prestise Jabatan Sipil
Perlu diketahui, Nasution sendiri sebenarnya sudah merasakan kekuasaan politik selama kariernya di dunia militer. Ia pernah diangkat Presiden Sukarno sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan pada 10 Juli 1959 dalam Kabinet Kerja III, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sejak 1966, dan berlanjut setelah Soeharto jadi presiden sampai 1972.
Konsep ‘jalan tengah’ Nasution inilah yang membuka jalan militer Indonesia untuk mengambil peran di panggung politik. Apalagi saat Soeharto mulai berkuasa, konsep tersebut pun dilanjutkan bahkan dikemas dalam istilah “Dwifungsi ABRI”.
Lalu, siapa saja tokoh-tokoh militer Indonesia yang pernah mengambil peran dalam perpolitikan di tanah air sejak era kemerdekaan sampai saat ini?
Jalan militer menuju panggung politik jelas terbuka sangat lebar saat Soeharto meraih tampuk kekuasaan sebagai presiden di era Orde Baru. Soeharto benar-benar membuka ruang seluas mungkin bagi orang-orang militer untuk terlibat dalam kehidupan politik, terutama di pemerintahan.
Adalah konsep Dwifungsi ABRI yang melenggangkan dan melegalkan langkah militer untuk berperan dalam politik. Dwifungsi ABRI diklaim memiliki dasar hukum yang kuat lantaran didukung UUD 1945. Hal ini ditegaskan oleh Departemen Hankam dalam Dwifungsi dan Kekaryaan ABRI (1978).
Pelaksanaan Dwifungsi ABRI sendiri dilegitimasi melalui penetapan dasar hukum yang berkesinambungan, dari Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978, juga Undang-undang No. 82 Tahun 1982.
Baca Juga: Prabowo Pilih Djoko Santoso, Jenderal Penangkal Manuver Kubu Jokowi
Dwifungsi ABRI yang diklaim memiliki dasar hukum yang kuat tersebut pun membuat militer Indonesia bisa menjalankan dua tugas penting. Tugas yang pertama adalah menjaga keamanan serta ketertiban negara, lalu tugas yang kedua adalah memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur negara.
Tak hanya itu saja, ABRI juga memiliki peran ganda sebagai dinamisator sekaligus stabilisator dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semasa hidupnya, Soeharto selalu menduduki jabatan-jabatan strategis seperti Panglima ABRI, Menteri Pertahanan, sampai Ketua Presidium Kabinet Indonesia.
Soeharto menjabat sebagai Presiden Indonesia kedua menggantikan Soekarno dari tahun 1967. Ia kemudian dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Masa jabatannya berakhir pada 1998 usai mengundurkan diri pada 21 Mei, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa.
Ia sering dijuluki dengan sebutan “The Smiling General” (Sang Jenderal yang Tersenyum) karena raut mukanya yang selalu tersenyum.
Nama Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno memang populer sebagai Wakil Presiden Indonesia ke-6 periode 1993-1998. Jauh sebelum diangkat sebagai Wakil Presiden Indonesia, Try sendiri merupakan Panglima ABRI.
Pada tahun 1974, Try terpilih menjadi ajudan Presiden Soeharto. Lalu pada bulan Februari 1993, waktu yang sama di mana Try berhenti dari posisinya sebagai Pangab dan sebulan sebelum MPR dijadwalkan bertemu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden baru, anggota MPR dari fraksi ABRI mencalonkan Try Sutrisno untuk menjadi Wakil Presiden.
Kala itu, anggota fraksi MPR diizinkan untuk mengajukan calon mereka untuk Wakil Presiden. Namun, aturan tak tertulis dalam rezim Soeharto sendiri adalah harus menunggu Presiden dulu untuk mengajukan calon yang dipilihnya.
Saat itu juga, anggota dari PPP dan PDI langsung menyetujui pencalonan Try sebagai Wakil Presiden. Sayangnya, hal itu tak berlaku bagi Golkar yang justru memberitahu anggotanya bahwa Golkar tidak mencalonkan Try.
Lalu, kabarnya saat itu Soeharto marah karena telah didahului oleh ABRI. Meski begitu, Soeharto tidak ingin adanya perselisihan terbuka, sehingga dengan terpaksa ia menerima Try dan Golkar mencoba mengecilkan ketegangan dengan mengatakan telah membiarkan pihak lain dan ABRI mencalonkan kandidat Wakil Presiden mereka.
Try sendiri menjabat sebagai Wakil Presiden dari 1993 sampai 1998. Sebelumnya Try merupakan kader Partai Golkar dan saat ini ia tergabung di Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia bersama AM Hendropriyono.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan terjun ke dunia politik setelah harus pensiun dini pada usia 50 tahun pada 1999 karena diminta Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) masuk ke dalam kabinet dan menjadi menteri. Saat itu, SBY sendiri sebenarnya mengaku sedih meninggalkan dunia militer.
Rasa sedih itu muncul lantaran SBY dan keluarga sebenarnya lebih memiliki cita-cita untuk menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Apalagi, kesempatan itu sebenarnya terbuka sangat lebar karena pada saat bersamaan Panglima TNI Jenderal Wiranto mengusulkan SBY sebagai KSAD kepada presiden.
Cita-cita menjadi KSAD juga sudah muncul sejak SBY lulus Akademi Militer. SBY yang akhirnya terjun ke dunia politik mengatakan bahwa keputusan yang membuat dirinya batal memimpin Angkatan Darat itu memang sangat berat.
Baca Juga: Bagaimana Militer Harusnya Bersikap di Pilpres 2019?
Meski begitu, kiprah SBY di dunia politik ternyata akhirnya cukup menjanjikan. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada 1999-2000, serta Menko Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan pada 2001-2004.
Puncaknya, SBY bahkan terpilih menjadi Presiden ke-6 RI selama dua periode pada 2004-2009 dan 2009-2014. Saat ini SBY menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Prabowo Subianto dikenal secara luas sebagai sosok perwira militer, pengusaha, dan politisi Indonesia. Ia mengawali karier militernya pada tahun 1969 dengan mendaftar di Akademi Militer Magelang dan lulus pada tahun 1974, satu tahun setelah SBY.
Selesai menjalani pendidikan di sana, Prabowo memulai karier di TNI AD dan mulai bertugas pada operasi-operasi militer di Timor Timur. Kariernya melesat di Komando Pasukan Khusus, di mana ia memimpin Detasemen Penanggulangan Teror dan kemudian sebagai komandan jenderal, memimpin operasi pembebasan sandera di Mapenduma.
Di akhir era Orde Baru, Prabowo bertugas sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis. Lalu, karier militernya berakhir dengan pangkat letnan jenderal setelah diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Perwira Angkatan Darat.
Setelah itu, Prabowo pun banting setir ke dunia bisnis mengikuti adiknya Hashim Djojohadikusumo. Setelah itu, ia memulai karier politiknya di konvensi presiden Partai Golongan Karya untuk 2004. Meski lolos sampai putaran akhir, namun ia gagal karena kalah suara dari Wiranto.
Tak berhenti sampai di situ, pada tanggal 6 Februari 2008, Prabowo tetap berjalan di jalur politik dengan mendirikan partainya sendiri, Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bersama adiknya Hashim Djojohadikusumo, mantan aktivis mahasiswa Fadli Zon, dan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Bidang Penggalangan Muchdi Purwoprandjono. Pada 9 Mei 2008, Partai Gerindra berhasrat mencalonkan Prabowo menjadi calon presiden pada Pemilu 2009. Namun, pada akhirnya ia maju sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri.
Namun, pasangan Megawati-Prabowo gagal usai dikalahkan oleh SBY dan Boediono. Tak berhenti sampai di situ, Prabowo kembali maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2014 berpasangan dengan Hatta Rajasa dari PAN. Sayangnya, harapan Prabowo untuk menjadi presiden kembali pupus setelah dikalahkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Kini, Prabowo juga kembali maju sebagai calon presiden bersama Sandiaga Uno untuk ikut bertarung di pentas Pemilu 2019 menghadapi pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.
Selain SBY, masih banyak tokoh berlatar belakang militer yang sampai hari ini terjun ke dunia politik. Ada nama Wiranto, yang pernah menjadi ajudan Soeharto, dan saat ini menjadi Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Selepas menjadi Panglima ABRI, ia diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Namun kemudian mengundurkan diri sesuai dengan Surat Resmi yang dikirimkan dan mendapat balasan dari Gusdur.
Tak berhenti sampai di situ, Wiranto tetap melanjutkan kiprahnya di dunia politik. Setelah memenangi konvensi Partai Golkar atas Ketua Umum Partai Golkar Ir. Akbar Tandjung, ia tampil sebagai kandidat presiden pada 2004 berpasangan dengan kandidat wakil presiden Salahuddin Wahid.
Namun, langkah pasangan Wiranto-Salahuddin harus terhenti pada putaran pertama karena menempati urutan ketiga dalam Pemilu 2004. Pada 21 Desember 2006, ia mendeklarasikan Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura) dan tampil sebagai ketua umum partai.
Gagal di Pemilu 2004 tak serta merta membuatnya keluar dari dunia politik. Bahkan setelah Pemilu Legislatif 2009, tepatnya pada 1 Mei 2009, Wiranto mengumumkan maju sebagai cawapres bersama Jusuf Kalla yang diusung Partai Golkar dan Partai Hanura.
Sayangnya, JK-Wiranto gagal di Pemilu 2009 setelah hanya menempati posisi ketiga dari perolehan suara di bawah pasangan SBY-Boediono dan Megawati-Prabowo. Lalu pada tahun 2014, Wiranto sempat mencalonkan diri sebagai capres berpasangan dengan Hary Tanoesoedibjo. Namun, rencana itu gagal lantaran minimnya perolehan suara Hanura di pemilihan legislatif 2014.
Selain Wiranto, ada juga nama-nama lain seperti Moeldoko yang saat ini menjabat sebagai Ketua Staf Presiden (KSP) dan juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Hanura. Moeldoko sendiri pernah menjabat sebagai Panglima TNI sejak 30 Agustus 2013 hingga 8 Juli 2015.
Selain itu, Moeldoko juga pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat sejak 20 Mei 2013 hingga 30 Agustus 2013. menariknya, ia merupakan KSAD terpendek dalam sejarah militer di Indonesia seiring pengangkatan dirinya sebagai Panglima TNI
Di Partai Gerindra sendiri ada sejumlah pensiunan militer. Salah satu yang punya peran penting adalah Letjen TNI (Purn) Djoko Santoso yang saat ini menjabat sebagai Ketua Tim Pemenangan pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019.
Di dunia militer sebelumnya, Djoko pernah menjabat sebagai Panglima TNI sejak 28 Desember 2007 hingga 28 September 2010. Sebelumnya Djoko pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat dari 18 Februari 2005 hingga 28 Desember 2007.
Lalu di Partai Demokrat ada Jenderal TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo. Ia merupakan mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang dilantik berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor: 40/TNI/2011, menggantikan Jenderal TNI George Toisutta.
Sebelumnya, Pramono pernah menjabat sebagai Panglima Kostrad dan pada tahun 2009 juga pernah menjabat sebagai Pangdam III Siliwangi.[3][4] Ayahnya, Sarwo Edhie Wibowo, juga merupakan mantan Komandan RPKAD yang turut andil dalam penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI.
Pada Mei 2013, karena ia telah memasuki masa pensiun, posisinya sebagai KSAD digantikan oleh Letjen TNI Moeldoko. Lalu, saat era reformasi bergulir, karier Pramono terus berkembang, terutama saat Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Pramono terpilih menjadi Ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001.
Kemudian pada tahun yang sama, Pramono menempuh Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (Sesko TNI), dan kemudian menjabat sebagai Perwira Tinggi Staf Ahli Bidang Ekonomi Sesko TNI 2004.
Pramono juga pernah menjabat sebagai Wakil Danjen Kopassus pada 2005, Kepala Staf Kodam IV/Diponegoro pada tahun 2007, dan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD pada tahun 2008 hingga tahun 2009. Pada tahun 2009, Pramono menjabat sebagai Pangdam III/Siliwangi serta ditunjuk menjadi Panglima Kostrad (Pangkostrad) pada tahun 2010.
Pada tahun 2011, Pramono akhirnya dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat menggantikan Jenderal TNI George Toisutta. Jabatan inilah yang menjadi puncak karier Pramono di dunia militer sebelum akhirnya pensiun secara resmi pada Mei 2013.
Setelah pensiun dari dunia militer, ia masuk ke dunia politik, bergabung dengan Partai Demokrat dan menjadi salah satu anggota Dewan Pembina partai sejak Juni 2013. Tak hanya itu saja, ia juga menjadi salah satu kandidat peserta Konvensi Capres Partai Demokrat bersama 10 orang kandidat lainnya.
Pada 16 Mei 2014, Partai Demokrat mengumumkan hasil Konvensi Capres, Pramono Edhie Wibowo menempati posisi kedua setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan.
Ada pula Jenderal (Purn) Abdullah Makhmud (AM) Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang pernah menjabat sebagai Ketum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dari tanggal 27 Agustus 2016 hingga 13 April 2018.
Hendropriyono sendiri merupakan seorang tokoh intelijen dan militer Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di erah Presiden Megawati dan SBY pada rentang 2001-2004.
Selain itu, Hendropriyono juga pernah menjadi Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dalam Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan dari tahun 1998 hingga 1999.
Ada juga sosok Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi, yang baru saja terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara. Tak hanya itu saja, Edy saat ini juga merangkap sebagai Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sebelumnya, sosok yang merupakan purnawirawan perwira tinggi TNI AD yang pernah menjabat Pangkostrad.
Edy merupakan seorang purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang Berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/12/I/2018, tanggal 4 Januari 2018 tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI, ia di tetapkan menjadi Pati Mabes TNI AD (dalam rangka pensiun dini).
Sebelumnya ia menjabat Pangkostrad pada 205 sampai 2018, menggantikan Jenderal TNI Mulyono.