Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dua anak laki-laki, dan dua anak perempuan meledakkan diri mereka dalam aksi pengeboman di tiga gereja berbeda di Surabaya, Jawa Timur, pada Mei lalu.
“Bomber yang terdiri dari keluarga itu belum pernah terjadi di belahan dunia manapun. Ini kejadian paling fenomenal. Ini kasus paling langka. Tak satu pun saya pernah lihat hal-hal semacam ini,” kata Sumanto Al Qurtuby, seorang antropolog budaya lulusan King Fahd University of Petroleum and Minerals, di Dhahran, Arab Saudi.
Hal itu ia ungkapkan dalam diskusi bertajuk “Memahami Proses Radikalisasi Keluarga Pelaku Teror” yang digelar oleh EIN Institute, sebuah lembaga yang mempromosikan pluralisme, di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Sumanto tak henti-hentinya mengungkap semua pola perilaku segelintir perempuan yang akhir-akhir ini mampu membelalakan mata masyarakat Indonesia.
“Ada lembaga-lembaga tertentu yang memilih menjadikan perempuan sebagai pelaku bom bumuh diri,” katanya.
Ia mengatakan, beberapa organisasi teroris di belahan dunia lain telah menjadikan kaum hawa sebagai martir, misal kelompok teroris Boko Haram, Alqaeda, sampai gerilyawan Kurdi di Irak yang juga kerap menggunakan perempuan sebagai garda terdepan dalam melakukan aksi bom bunuh diri.
Tak ketinggalan pula, lanjut Sumanto, kelompok Tiger Tamil yang beroperasi di tepi pantai selatan Asia beberapa tahun belakangan ikut-ikutan memakai jasa perempuan sebagai pengebom bunuh diri.
Namun, menurut pria kelahiran Batang itu, ada sebuah fenomena yang menyentak hati saat rentetan bom meledak di tiga gereja Kota Surabaya.
Saking terheran-herannya, koleganya dari Tanah Arab bahkan sempat mengontaknya langsung. Temannya itu berulang kali bertanya kepadanya kenapa di Indonesia muncul satu keluarga yang memilih jadi bomber.
“Kolega saya dari Arab Saudi itu ikut terheran-heran. Karena di Tanah Saudi itu tak pernah ada keluarga bomber,” ujarnya.
Diakuinya bahwa hatinya berkecamuk tatkala mendapati adanya bomber perempuan di Surabaya. Ia menilai perempuan seyogyanya sulit dideteksi menjadi pengebom ketimbang kaum Adam.
“Kalau bom sudah ditaruh perut, ya sulit diperiksa,” katanya dengan suara sedikit meninggi.
Budaya yang berkembang di Indonesia selama ini memang mengamini hal tersebut.
“Pasti dikatakan haram kalau pegang perut perempuan,” imbuhnya.
Ia mengatakan, kasus keluarga teroris dengan jumlah bomber perempuan terbanyak ini cukup menarik jika dikaji dari ilmu antropologi budaya. Dalam kasus bom gereja Surabaya, Sumanto mengatakan pandangan publik terhadap sosok perempuan berbalik 180 derajat.
Pada awal gerakan terorisme muncul di dunia, perempuan hanya didoktrin sebagai ibu dan istri yang wajib melayani suami serta anak. Doktrin tersebut ternyata berubah total ketika ditemukan sosok perempuan yang telah didoktrin bisa menjadi jihadis.
“Doktrin itu ada catatan, asalkan dengan alasan defensif atau mempertahankan diri, perempuan bisa melakukan aksi bom bunuh diri,” tuturnya.
Pendapatnya itu ia pertegas dari hasil kajian sejarah Islam yang memang ditemukan ada perempuan yang memilih menjadi jihadis ketika berada di medan perang.
“Itu pun sudah sejak zaman Nabi. Habis itu enggak ada lagi. Sampai muncul bomber perempuan di era saat ini,” kata peraih doktor dari Boston University Amerika Serikat itu.
Ia menganggap kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sebenarnya kelompok terakhir yang menggunakan pengebom perempuan. Selama ini mereka menggunakan pria sebagai jihadis bom. Lambat-laun, ISIS beralih memakai jasa perempuan demi alasan taktik. Kejadian terakhir pada 2017 lalu ketika perempuan meledakan diri di depan pos polisi Irak.
Ia menyampaikan adanya rentetan kasus bomber perempuan ini membuktikan bila mereka lebih aman mengebom karena aparat keamanan susah mendeteksi pakaiannya.
“Para teroris melihat konteks strateginya lebih efektif memakai perempuan ketimbang laki-laki. Lagipula, perempuan adalah makhluk yang gampang didoktrin. Sebab, mereka punya tingkat emosionalnya yang tinggi, gampang berubah fanatik, gampang keras, dan militan,” katanya.
Doktrin yang kerap ditanamkan pada perempuan yakni semakin orang ketakutan, maka akan membuat pikiran perempuan semakin senang. Itulah alasan mengapa organisasi yang berafiliasi dengan ISIS merubah taktik dari bomber laki-laki ke bomber perempuan.
“Terlebih lagi banyak pria mati terbunuh di Irak,” paparnya.
Biarpun Islam tidak mengajarkan terorisme, Sumanto menuturkan, ajaran diskursus keagamaan bisa memberikan inspirasi untuk menjadi teroris, jihadis, radikalis, sampai ekstremis.
“Makanya, jika ada yang sebut teroris ya dari Muslim sama saja mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan,” bebernya.
Satu lagi yang patut diwaspadai masyarakat Indonesia, kata Sumanto, yaitu banyaknya teroris yang mempuyai latar belakang pendidikan tinggi. Keahlian merakit bom tak mungkin dilakukan sembarang orang jika tak dibekali kemampuan otak jenius.
“Orang pintar ialah orang yang gemar membaca buku-buku ilmu teknologi. Hal ini yang selama ini dilakukan mereka. Apa yang mereka dapat kemudian ditularkan dalam kegiatan pengajian remaja di masjid kampus. Penyebaran ajaran radikal di sana harus dicermati serius,” ujarnya.