Bulan Mei dua puluh tahun lalu menjadi salah satu momen bersejarah bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, negara yang udah dipimpin oleh pemimpin otoriter selama 32 tahun itu akhirnya berubah haluan.
Semua tidak lepas dari peran rakyat dan mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto mundur, meski harga yang dibayar tidak bisa dibilang murah. Mei 1998 bukan hanya bersejarah, tapi juga berdarah. Kerusuhan terjadi di mana-mana di ibu kota. Akibatnya banyak korban tewas dan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan.
Pusat perbelanjaan di Klender, Jakarta Timur, hangus terbakar. Barang-barang elektronik dan peralatan rumah tangga habis dijarah. Begitu pula dengan situasi di Glodok, Jakarta Barat. Pertokoan yang dimiliki mayoritas etnis Tionghoa hangus terbakar.
Situasi di Jakarta kala itu mencekam. Tak banyak yang berani keluar rumah. Tapi bagaimana dengan daerah-daerah lain di luar ibu kota? Apakah dampak gerakan reformasi sampai juga ke pelosok?
Sebelum melanda Jakarta, kerusuhan lebih dulu menghampiri Kota Medan, Sumatera Utara. Ketika itu, tepatnya pada 6 Mei 1998, ratusan ruko dilempari dan dirusaki perusuh. Sejumlah kendaraan tak luput dari amuk massa, hingga terbakar.
Menurut kesaksian salah satu warga Medan, Haris, mengatakan kerusuhan dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
“Bertepatan pula Presiden Soeharto malam harinya pas tanggal 5 Mei menaikkan harga BBM. Bensin naik dari Rp700 menjadi Rp1.200, sehingga warga semakin mudah diprovokasi,” kata Haris kepada media.
Buana Plaza menjadi salah satu tempat perbelanjaan yang dibakar oleh massa. Terlihat penjarah mengangkat televisi, kulkas, dan perabotan lainnya. Ketika itu media melaporkan sedikitnya 5 orang tewas dan puluhan orang tertembak.
Ari Susanto saat itu masih berusia 19 tahun dan berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, sekitar dua jam perjalanan darat dari kampung halamannya di Solo.
Menurutnya, sekitar sepekan sebelum Soeharto turun, terjadi demonstrasi besar-besaran di Yogya, meski tidak sampai pecah kerusuhan. Demonstrasi sudah tidak lagi dilakukan di lingkungan kampus karena sudah terpusat di alun-alun kota. Sebagian mahasiswa lainnya sudah ikut bergabung dengan teman-teman sejawat ke Jakarta.
“Di Yogya tidak pecah kerusuhan, hanya dealer [mobil] Timor saja dibakar,” kata Ari, seorang wartawan, kepada Asumsi.
Showroom dan dealer resmi mobil Timor di kota gudeg itu dilempari batu batu sebelum kemudian dibakar.
Pemerintah pada masa Orde Baru menunjuk PT Timor Putra Nasional yang dimiliki oleh putera Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy), sebagai pionir mobil nasional. Usia mobil Timor yang resmi diluncurkan pada 8 Juli 1996 di Jakarta itu tidak bertahan lama. Produksi Timor dihentikan pada 1997 karena Indonesia dilanda krisis moneter.
Ari mengatakan, peran Sultan Hamengkubuwono X (Sultan HB X) sangat penting dalam masa-masa genting di Yogyakarta. “Faktor Sultan itu bisa meredam gejolak massa,” katanya.
Sultan HB X dianggap sebagai penggerak people power di daerahnya. Menjelang hari-hari reformasi, Sultan tampil di muka umum, salah satunya memberikan orasi di kampus UGM di hadapan puluhan ribu mahasiswa, mendukung gerakan reformasi.
“Saya ‘kan bukan politisi yang harus bernegosiasi, kapasitas saya ya sekadar sebagai kekuatan moral. Maka terserah bagaimana maklumat itu ditafsirkan oleh penguasa,” kata Sultan pada suatu kesempatan di alun-alun Yogyakarta.
Massa yang hadir pada saat itu ditaksir sekitar satu juta orang. Mereka berdemonstrasi secara damai; duduk berhimpitan dan berdiri berdesakan, menyimak. Bukan hanya mahasiswa, tapi juga orang tua dan rakyat biasa.
Pada suatu hari, Ari menerima sambungan telepon dari ibunya.
“Solo rusuh,” kata ibunda Ari. “Jangan pulang dulu.”
Hari-hari itu, tidak ada angkutan bus dari Yogya ke Solo. Ia hanya menerima informasi dari menonton berita di televisi.
Bukannya menurut perintah sang ibu, Ari malah pulang ke Solo sore harinya. “Kebetulan ada kereta api,” ujarnya.
“Sampai Solo itu kayak kota mati, sepi. Mau masuk kampung itu sepi, dipalangi,” katanya.
Usai menemui ibunya di rumah, ia berkeliling kota Solo mengendarai motor. Ada api yang masih menyala di jalanan.
“Mobil-mobil jadi bangkai di jalan,” ucapnya.
Jika di Medan, kerusuhan dan penjarahan terjadi sebelum Jakarta, Solo kebalikannya. Solo menjadi salah satu kota di Pulau Jawa yang paling terkena imbas kerusuhan ibu kota.
Gedung perbankan, pertokoan, perkantoran, mal dan banyak bangunan lain terbakar, salah satunya Singosaren Plaza, yang dulu disebut Matahari Department Store.
Menurut pengakuan saksi mata saat itu, ada segerombolan orang yang memecah kaca Matahari dengan batu sebelum menjarah barang-barang dari dalam toko. Setelah puas menjarah, massa kemudian membakar gedung Matahari. Imbasnya, bangunan-bangunan di sekitarnya pun ikut dijarah dan terbakar.
Selain Matahari, Atrium 21 Solo Baru—bangunan pusat hiburan termegah di Solo kala itu—juga kena dampaknya. Tak jauh dari Atrium 21, mantan Menteri Penerangan Harmoko diketahui sempat tinggal di daerah Solo Baru. Akibat kerusuhan, rumah tersebut hancur terbakar. Kini, 20 tahun kemudian, pemiliknya sudah ganti bukan Harmoko lagi
Penjarahan dan pembakaran gedung ini, menurut warga Solo bernama Fariz Fardianto, dipicu oleh harga-harga yang serba mahal. Ia melihat tetangganya pulang ke rumah membawa kulkas, TV, kasur, dan sejumlah barang lain. Mereka melampiaskannya kepada kroni Soeharto dan simbol-simbol kapitalisme.
“Dulu barang yang tidak bisa dibeli, akhirnya bisa didapatkan,” kata Fariz yang saat itu masih berusia 14 tahun dan duduk di bangku SMP.
“Ini dapat dari [supermarket] Luwes, sana kamu ikut juga,” katanya menirukan ucapan si tetangga, meski ia tidak mengikuti sarannya.
Ia hanya mengingat kondisinya waktu itu kalut dan dibalut panik. Tetangga depan dan samping rumahnya merupakan keturunan Tionghoa. Fariz mengingat, sejak kejadian itu, mereka tak pernah terlihat lagi.
“Ada yang bilang mengungsi ke Pontianak atau Hong Kong,” katanya. “Ada satu tetangga lagi yang enggak kembali sampai sekarang karena tokonya terbakar.”
Semarang Landai-landai Saja
Semasa kecilnya, Fariz berpindah-pindah tempat tinggal. Selain di Solo, ia juga tinggal di Semarang. “Semarang waktu itu landai, sih,” katanya.
Menurutnya, Semarang bebas dari kerusuhan dan penjarahan karena dihalau oleh polisi dari segala arah. “Enggak ada sama sekali [kerusuhan], benar-benar kondusif kondisinya,” katanya.
Yang ia tahu, kebanyakan korban kerusuhan Mei dari etnis Tionghoa banyak yang bersembunyi di Semarang.
Tetangganya di Solo ada yang di kemudian hari membuka toko di Semarang.
“Toko tetangga saya sudah habis dilahap api di Solo, makanya dia buka toko di Semarang,” kata Fariz yang sekarang bekerja sebagai wartawan di ibu kota Jawa Tengah itu.