Entah mengapa akhir-akhir ini banyak politisi dan tokoh publik gemar berpuisi. Mungkin mereka memang sebelumnya suka berpuisi, tapi belakangan puisi yang mereka bacakan menjadi sumber kontroversi dan bahan perbincangan di media sosial.
Yang terbaru ada mantan Ketua DPR RI Setya Novanto yang menutup pledoinya di persidangan dengan pembacaan puisi berjudul Di Kolong Meja. Setya terlihat menangis ketika membacakan puisi tersebut, sambil tangannya bergetar membolak-balik halaman kertas yang ia genggam.
Ada juga calon petahana gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang membacakan puisi berjudul Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana? karya ulama Mustofa Bisri (Gus Mus). Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) awalnya sempat akan melaporkan Ganjar ke polisi karena isi puisi tersebut diduga mengandung SARA, namun urung karena belakangan diketahui puisi itu karangan Gus Mus.
Lain lagi dengan Sukmawati Soekarnoputri. Anak Presiden RI pertama Soekarno itu membacakan puisi berjudul Ibu Indonesia saat peragaan busana desainer Anne Avanty di Indonesia Fashion Week awal April lalu. Puisi Sukmawati memantik kontroversi karena isinya ada kata syariat Islam, cadar, dan adzan dalam bait-baitnya.
Melihat keramaian di Twitter dan Facebook seputar puisi-puisi ini, sebagai seorang awam mengenai puisi, saya mengajak ngobrol seorang kawan yang juga seorang penyair, Pradewi Tri Chatami. Ia kini bekerja sebagai editor di penerbit Marjin Kiri.
Sebelum ngobrol dengan Pradewi, sebagai seorang awam puisi, saya melakukan sedikit persiapan. Hasil penelitian Google menyebutkan, “puisi merupakan karya seni berupa tulisan yang menggunakan kualitas estetika (keindahan bahasa) sehingga berfokus pada bunyi, irama, dan penggunaan diksi.”
Bagi saya, sebagai orang biasa, sulit untuk memahami mengenai estetika atau keindahan bahasa, irama, rima, dan penyusunan bait dan baris. Saya sebagai orang yang paham bagaimana menggunakan internet sebenarnya bisa saja membaca mengenai beragam teori pengajaran mengenai puisi, atau apa itu puisi diafan, puisi kontemporer, dan puisi mbeling di Wikipedia atau blog-blog tugas mahasiswa. Tapi kemudian, apakah hanya dengan berbekal pengetahuan tersebut, lalu sudah layakkah saya menentukan sebuah puisi bagus atau tidak? Jelaslah masih jauh dari layak.
Beberapa komentar dari orang-orang yang saya anggap mengerti mengenai puisi, bermunculan di media, beberapa di antaranya adalah Timur Sinar Suprabana, seorang sastrawan asal Semarang dalam komentarnya mengenai puisi Gus Mus di salah satu media. Menurutnya, “Membaca dan memahami puisi harus secara keseluruhan. Tidak hanya perbagian, jadi harus komprehensif.”
Ada juga komentar dari seorang sastrawan senior, Agus Noor, yang berkomentar mengenai puisi Sukmawati. “Puisi tak bisa dinilai dengan cara benar atau salah. Puisi itu penghayatan, pengalaman puitik personal,” katanya.
Namun ada pula komentar dari sastrawan lainnya, Ahmadun Yosi Herfanda, yang mengatakan bahwa “yang dilakukan Bu Sukma ini jelas melanggar rambu-rambu dasar yang patutnya ditaati.”
Keberagaman komentar para sastrawan ini dalam menanggapi karya puisi adalah hal yang wajar. Tapi saya masih mencoba memahami bagaimana sebaiknya seorang awam menikmati puisi, apalagi puisi yang berisi kritik sosial.
Pradewi mengatakan, “Sebenarnya sulit menemukan puisi kritik sosial yang bagus. Wiji Thukul, Agam Wispi, As Dharta, dan HR Bandaharo adalah tokoh-tokoh yang dianggap sempurna membuat puisi akan kritik sosial.”
Apakah puisi yang baik harus selalu berima ABAB atau AAAA—seperti yang pernah saya pelajari di bangku sekolah?
Pradewi menjawab sederhana, “Puisi yang baik adalah puisi yang selain konteksnya kena, secara bahasa juga, dia beres”.
Mengenai ramainya puisi-puisi yang tengah ramai di dunia maya, Pradewi berkomentar, “Puisi bisa berarti apa saja buat pembacanya, semua orang boleh suka atau tidak menyukai puisi”.
Lalu saat ditanyakan mengenai bagaimana orang awam seharusnya mengartikan puisi, ia menjawab, “Bebas saja, tetapi baiknya tahu diri, kalau tidak merasa bisa berbahasa dengan baik dan benar, tidak perlu sok tahu soal puisi”.
Lalu bagaimana menanggulangi ketersinggungan dari sebuah puisi?
“Sejujurnya saya kurang tahu, saya termasuk orang yang tidak mudah tersinggung, untuk menanggulanginya dalam masalah lain, ya bicara,” ujar Pradewi.
Pertanyaan terakir mengarahkan saya pada satu pertanyaan pamungkas, bagaimana seharusnya seorang awam memahami puisi?
“Dengan membaca sebanyak-banyaknya dan dengan mencintai bahasa, baru dia bisa memahami puisi,” katanya mantap.