Nama gue Omar Gibran. Bisa dibilang, gue termasuk ke dalam golongan millennial zaman now yang paham banget bahwa dunia ini bergerak dengan sangat cepat. Karena gue dari kecil udah dididik untuk bergerak cepat, gue jadi membiasakan diri untuk makan fast food yang artinya juga makanan cepat saji (agak maksa tapi enggak apa-apa bawa enak aja).
Soal fast food ini, ada satu cerita menarik yang terjadi pas gue masih kecil. Waktu itu, gue adalah anak yang menyusahkan kedua orang tua kalau pas masuk jam makan. Gue susah banget makan tapi enggak untuk dua subjek: mie dan fast food. Gue pernah sakit gigi, parah sakit banget dan nyokap gue bawain KFC biar gue tetap makan. Pengin dimakan tapi sakit banget gigi gue. Itulah hari pertama gue merasakan sedihnya cinta bertepuk sebelah tangan (?).
Nah, balik lagi ke fenomena zaman now dan hubungannya dengan ayam goreng, udah jadi rahasia umum bahwa sekarang ini, restoran fast food ayam goreng udah bermacam-macam. Dari yang luar negeri kayak KFC dan McDonald’s, sampai dalam negeri kayak D’besto dan Sabana. Beberapa orang punya mazhab ayam gorengnya sendiri. Mau yang lokal atau yang internasional, pastinya ada satu aspek yang selalu jadi jagoan dalam dunia persaingan ayam goreng ini. Ya, apa lagi kalau bukan kulitnya yang crispy dan penuh cita rasa. Bunyinya pas digigit yang menggoda banget sampai daging ayamnya yang juicy dan empuk parah.
Nah, karena dedikasi gue yang total dalam dunia perayam gorengan ini, biarkan gue berbagi soal satu fenomena yang udah cukup lama menggelitik sanubari ini.
Jadi gini, akhir-akhir ini, gue ngerasa kayaknya fast food mancanegara sedang berusaha untuk fit in dengan trend masa kini. Contohnya KFC yang sempat mengeluarkan ayam goreng dengan saus cokelat. Untuk pertama kalinya, jagad media sosial heboh. Banyak yang bilang ini merupakan strategi marketing yang konyol! Ya, penilaian soal konyol apa enggak sih balik ke elo ya, tapi yang pasti, KFC terus berusaha untuk tetap up-to-date dengan pergaulan warganet. Terakhir, kita semua pasti sadar kalau KFC baru aja ngeluarin menu ayam baru, yaitu dengan dilumuri saus salted egg.
Tidak ingin ketinggalan hype train, McDonald’s juga mengeluarkan menu “McD Nasi Uduk”. Tapi ini bukan pertama kalinya McD mem-fusion makanan tinggi kalori ini dengan kuliner lokal Indonesia. Sebelumnya, McD juga pernah ngeluarin menu ayam kremes dan sambal uleg, burger rendang, sampai es krim McFlurry rasa rujak pedas! Sebagai penggila fast food, tentunya beberapa menu ini pernah gua coba, namun jujur, rasanya kurang berkesan.
Dua fenomena ini kemudian bikin gue berpikir. Sebenarnya, semua fast food dari mancanegara yang masuk ke Indonesia sudah melalui beberapa penyesuaian agar rasanya sesuai dengan lidah orang lokal. Maka ketika mereka mencoba menu-menu “lokal” dan “kekinian” yang gue sebutin tadi, apakah mereka berusaha terlalu keras untuk cocok sama konsumen Indonesia? Padahal menurut gue, mereka udah melakukan penyesuaian menu yang cukup signifikan sejauh ini.
Contohnya aja ketika McDonald’s dan Burger King pertama kali masuk ke Indonesia. Di negara asalnya, Amerika Serikat, menu andalan kedua restoran ini adalah burger. Jadi ketika masuk ke Indonesia, keduanya tidak punya menu ayam dan nasi pada papan menu. Hal ini kemudian menimbulkan rasa gelisah dan kurang nyaman di kalangan masyarakat Indonesia yang hobi banget makan nasi. Imbasnya, kedua restoran ini terlihat sepi.
Menyadari bahwa mereka melewatkan dua menu makanan maha penting di piramida pangan orang Indonesia, Mcd dan Burger King akhirnya menambahkan menu ayam goreng dan nasi pada papan menu mereka. Hasilnya bisa dilihat sekarang, kedai dari kedua restoran ini enggak pernah sepi pengunjung. Kalau udah begitu, masih perlukah kita nyobain McD nasi uduk atau burger rendangnya? Padahal kita sama-sama tahu, nasi uduk yang mantep ya yang dibikin sama encing-encing Betawi di depan rumah. Banyak, murah, kenyang.
Di sisi lain, KFC emang udah dari lahir mengandalkan menu ayam goreng (walaupun enggak pake nasi). Di negara asalnya, juga di Amerika Serikat, KFC diciptakan oleh Colonel Sanders yang legendaris karena harus melakukan eksperiman selama puluhan tahun demi menemukan resep yang tepat untuk menu kulit ayam goreng KFC yang terkenal renyah itu. Nah, kulit ayam goreng ini aja udah cukup jadi sumber konflik yang tak terhindari antara elo dan temen-temen lo katika ada salah satu dari kalian yang nyisain kulit ayam untuk dimakan terakhir, tapi dengan santainya, malah dicomot sama temen disampingnya. Kalau udah begitu, masih perlukah penemuan Colonel Sanders itu dilumuri cokelat atau salted egg? Jawabannya gue balikin ke kalian.
Yang pasti, sebagai konsumen setia ayam goreng renyah tinggi kolesterol inil, gue cuma mau bilang:
Dear Fast Food Retail,
Enggak perlulah kalian bikin menu fancy biar bisa dikategorikan “instagrammable” atau diakui oleh kaum Hypebeast.
Enggak perlulah memaksakan apa yang sudah sempurna diobrak-abrik lagi.
Berdiam diri dan fokus di zona nyaman bukan kesalahan. Keluar dari zona nyaman juga bukan jaminan untuk meraih kesuksesan.
Jadi, apa yang udah ada di papan menu itu udah sempurna. Mungkin seharusnya bukan menu yang kalian perlu tambahkan. Tetapi, potongan harga di atas tanggal 20 untuk mahasiswa dan juga para pekerja.
Terima kasih.
Tertanda Penikmat Ayam Gorengmu,
E.M. Omar Gibran
Omar gibran adalah videografer di Asumsi.co, pecinta makanan dan kucing. Ia bisa dihubungi via @emogibran