Pernah melihat kerumunan orang-orang berbaju hitam, berpayung hitam, berbaris rapi, dan membentangkan spanduk di seberang Istana Presiden setiap hari Kamis sore? Jika pernah melihat, itu adalah Aksi Kamisan.
Aksi Kamisan ini dilakukan oleh berbagai elemen penggiat HAM sebagai bentuk perjuangan untuk meminta keadilan atas kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Kasus yang diangkat pun bermacam-macam, dimulai dari kasus pembunuhan Munir, Marsinah, Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi satu dan dua, Tragedi Tanjung Priok, Tragedi 1965, Talangsari, Penghilangan Paksa, serta sederet kasus pelanggaran HAM lainnya, jadi prioritas untuk diperjuangkan dan selalu didengungkan di setiap Aksi Kamisan.
Tepat hari Kamis 23 November 2017 kemarin, Aksi Kamisan memasuki edisi yang ke-515. Teman-teman yang ikut turun ke lapangan pun mengusung tema “Payungi Hak Perempuan dan Anak”, di samping tetap mendorong Presiden Jokowi untuk menepati janjinya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang lain.
Mau tahu lebih jauh soal sejarah dan perjalanan Aksi Kamisan yang masih berlangsung hingga hari ini? Berikut Tim Asumsi paparkan soal apa saja yang perlu diketahui dari Aksi Kamisan beserta perkembangannya.
Sejarah Aksi Kamisan
Aksi Kamisan lahir dari sebuah ide perjuangan. Sejarahnya berawal saat Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), sebuah paguyuban korban/keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), mengadakan sharing dan diskusi bersama Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK), serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) untuk mencari alternatif kegiatan dalam perjuangannya di akhir tahun 2006.
Lalu, pertemuan itu pun berlanjut di awal 2007. Pada 9 Januari 2007, JSKK bersama KontraS dan JRK, sepakat untuk mengadakan suatu kegiatan guna bertahan dalam perjuangan mengungkap fakta kebenaran, mencari keadilan, dan melawan lupa.
Setelah melalui diskusi panjang, lahirlah kesepakatan dan dipilihlah Aksi Diam sebagai sebuah kegiatan perjuangan. Kemudian aksi tersebut disepakati untuk digelar satu kali dalam seminggu, serta disepakati juga soal hari, waktu, tempat aksi, pakaian, warna, dan maskot yang nantinya menjadi simbol gerakan.
Aksi diam itu kemudian dilaksanakan pada hari Kamis. Kenapa harus hari Kamis? Karena saat itu hari Kamis jadi satu-satunya hari di mana peserta rapat bisa meluangkan waktunya untuk turun ke jalan.
Aksi Kamisan pun berlangsung di depan Istana Presiden, tepatnya di seberang jalan depan Istana. Lokasi tersebut dipilih karena alasan yang cukup kuat yakni karena Istana merupakan simbol pusat kekuasaan.
Soal waktu pelaksanaan yang disepakati pukul 16.00-17.00 (on time), karena pada jam-jam tersebut kondisi lalu lintas di depan Istana Presiden sedang ramai oleh kendaraan orang-orang yang pulang bekerja, sehingga besar kemungkinan untuk menarik perhatian publik.
Aksi Kamisan perdana pun dilaksanakan pada Kamis, 18 Januari 2007 silam, itu artinya aksi tersebut sudah berlangsung satu dekade. Aksi ini sepenuhnya berangkat dari harapan dan perjuangan untuk mengingatkan negara yang dengan sengaja mengabaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Kemana Negara dan Presiden Selama 10 Tahun?
Terhitung sejak 2007 silam, Aksi Kamisan sudah berlangsung 515 kali hingga hari ini di depan Istana Presiden. Selama satu dekade itu pula Aksi Kamisan sudah melewati tiga periode dan dua masa kepemimpinan Presiden RI yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).
Lalu, selama itu pula, Aksi Kamisan dan segala pesan tuntutannya tak pernah sekali pun mendapatkan respon positif dari kedua Presiden. Meski SBY pernah satu kali mengajak perwakilan peserta Aksi Kamisan untuk berdialog di Istana, namun SBY maupun Jokowi cenderung berat melangkahkan kakinya untuk bertemu dengan peserta Aksi Kamisan.
Padahal, tak hanya aksi diam, peserta Aksi Kamisan juga selalu melayangkan sepucuk surat terbuka kepada Presiden RI, seperti yang pernah juga dilakukan penulis pada 2012, yang berisi pesan dan harapan dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM. Namun, semua upaya itu nihil.
Kemana Presiden? Pernahkah Anda membayangkan jika suatu hari nanti Presiden Jokowi benar-benar keluar Istana dan menemui para peserta Aksi Kamisan? Mungkin akan ada banyak hal yang terjadi.
Seperti penuturan orang tua Wawan korban Semanggi I, Sumarsih kepada redaksi Asumsi.co yang menyebutkan bahwa pemerintah terutama di era kepemimpinan Presiden Jokowi tak memiliki niat baik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
“Kita pernah sekali diterima oleh Presiden SBY pada 26 Maret 2008 di Istana Presiden. Yang ikut waktu itu ada Usman Hamid (KontraS), Ibu Doktor Karina Supelli, saya sendiri, ibunya Elang korban Tragedi Trisakti, dan sejumlah korban pelanggaran HAM masa lalu yang lainnya,” kata Ibu Sumarsih kepada Asumsi.co, Kamis (23/11).
“Waktu itu dialognya soal penyelesaian pelanggaran HAM berat. Seinget saya, saya menyampaikan kepada Pak SBY bahwa saya Maria Catarina Sumarsih ibunya Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), korban Tragedi Semanggi I,” kenang Sumarsih.
“Saya percaya bapak Presiden tahu bahwa setiap Kamis jam 4 sampe jam 5 sore itu ada orang-orang berpakaian hitam dan berpayung hitam di depan Istana. Saya tahu bapak berkali-kali lewat di depan kami yang sedang Aksi Kamisan di seberang Istana,” sambung Ibu Sumarsih.
Sayangnya, seperti diberitakan banyak media massa, Sumarsih menyebutkan bahwa berkas penyelidikan Komnas HAM atas Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II dinyatakan hilang oleh Jampidsus Kejaksaan Agung. SBY pun memberikan jawaban yang normatif atas pernyataan Sumarsih tersebut.
“Pak Presiden menjawab pernyataan saya bahwa katanya hukum harus ditegakkan, kasus Trisakti, Semanggi I dan II harus diselesaikan melalui mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc. Yang kesalahannya besar ya dihukum berat, kesalahan ringan dihukum ringan, dan yang tidak bersalah itu tidak dihukum.”
Sayangnya, setelah selesai berdialog dan SBY banyak memberikan respons positif soal harapan Sumarsih dan korban lainnya, justru tak ada tindak lanjut dan kasus-kasus yang ada kembali menggantung. Kini di era Jokowi, Sumarsih pun seperti sudah kehilangan harapan lantaran sang Presiden justru melupakan janji kampanyenya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
Meskipun harus berandai-andai bahwa suatu saat Jokowi dengan sukarela menghampiri para peserta Aksi Kamisan di depan Istana, tak banyak yang diharapkan Sumarsih. Sumarsih hanya ingin menyampaikan tuntutan, data dan fakta kepada Jokowi soal kasus pelanggaran HAM yang ada.
“Sebenarnya Pak Jokowi tak cukup hanya menemui kami para keluarga korban pelanggaran HAM pada Aksi Kamisan di depan Istana.”
“Beliau hanya cukup memberi perintah kepada Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM atas penembakan para mahasiswa dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Itu cukup! Beliau nggak harus datang bertemu kami di Aksi Kamisan karena juga pasti sibuk.”
Sayangnya hingga Aksi Kamisan ke-515 hari ini, belum ada sedikitpun tanda-tanda Jokowi ingin menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti tuntutan Ibu Sumarsih dan keluarga korban yang lainnya. Ibu Sumarsih seperti sudah kehilangan harapan.
Ibu Sumarsih pun semakin yakin bahwa harapan itu pelan-pelan menipis seiring keputusan Jokowi yang mengangkat Wiranto, yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu, sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
Meski begitu, Ibu Sumarsih tak kehilangan semangat dan terus mencari keadilan hingga titik darah penghabisan.