Isu Terkini

Anies Baswedan Ambil Alih Pengelolaan Air dari Swasta, Bagaimana dengan Putusan PK MA?

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Di beberapa daerah Ibukota, masyarakat yang ingin mendapatkan air bersih harus mengeluarkan biaya. Kalil Charliem, seorang nelayan di Kali Adem, Jakarta Utara misalnya yang harus membayar Rp5 ribu per jeriken air untuk kebutuhan sehari-hari. Air sumur di rumahnya sudah tak layak pakai karena warnanya keruh dan berbau busuk.

Kalil adalah satu dari sekian orang yang menjadi korban swastanisasi air di Jakarta. Seperti diketahui pula, beberapa masyarakat harus membayar uang hingga ratusan Rupiah untuk bisa mendapatkan akses air lebih mudah. Hal ini tentu menjadi beban berat bagi orang yang kurang mampu.

Privatisasi air di Jakarta sendiri dimulai ketika perusahaan air asal Britania Raya, Thames Water, membuat perjanjian konsesi air dengan putra Presiden Suharto pada tahun 1993. Melalui pengaruh perusahaan air asal Prancis itu, pemerintah memutuskan membagi wilayah pasokan air kepada dua perusahaan. Pemerintah memberikan konsesi untuk separuh kota kepada Thames Water tanpa tender, hingga akhirnya memicu kenaikan imbalan air.

Namun kini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah berencana mengambil alih pengelolaan air dari pihak swasta. Anies menilai kini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengalami kerugian setelah perjanjian pada tahun 1997 saat pengelolaan dilakukan oleh PALYJA dan Aetra. Mengambil alih dari pihak swasta itu sendiri menjadi koreksi atas perjanjian yang dibuat saa masa Orba.

“Posisi Pemprov DKI sangat jelas dan tegas, Pemprov akan segera ambil alih pengelolaan air di Jakarta demi dukung target perluasan air bersih di Jakarta. Tujuannya koreksi perjanjian yang dibuat masa Orba ’97, selama 20 tahun perjanjian, pelayannya air bersih tidak sesuai dengan apa yang diharapkan,” kata Anies pada media, di Balai Kota Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, 11 Februari 2019 kemarin.

Anies menekankan, ada tiga kerugian yang dialami oleh Pemprov DKI Jakarta. Masalah pertama adalah soal eksklusivitas pengelolaan air. Pertama, perjanjian investasi terkait dengan pengelolaan air harus seizin pihak swasta. Kemudian yang kedua, pengelolaan seluruh aspek di air bersih dikuasai oleh swasta. Pemerintah tidak memiliki hak untuk pengelolaan.

“Dari air baku, pengolahannya, lalu distribusi, dan pelayanan, empat-empatnya ada di sana. Kita Tidak punya kontrol,” kata Anies.

Ketiga, kata Anies, negara harus membagi keuntungan sebesar 22 persen. Padahal, lanjutnya, selama 20 tahun pihak swasta sudah membangun jaringan air sebesar 44,5 persen pada 1998. Sedangkan saat 2018 naik menjadi 59,4 persen, sementara target tahun 2023 adalah 82 persen.

“Ini problematik, negara dalam perjanjian ini memberikan jaminan keuntungan 22 persen. Target tidak tercapai, tapi keuntungan wajib dibayarkan oleh negara. Kalau hari ini angka tercapai mungkin lain cerita,” ucap Anies

Untuk itu, Anies akan ikuti saran dari Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum untuk melakukan pengambilalihan pengelolaan air bersih menjadi sepenuhnya oleh PAM Jaya. Anies menyebut Pemprov akan lakukan tindakan perdata.

Tarik Ulur Putusan Mahkamah Agung Soal Swastanisasi Air

Setahun sebelum Anies berencana putus hubungan dengan pihak swasta pengelola air, ada puluhan orang yang melakukan aksi teatrikal saat Hari Air Sedunia, pada 23 Maret 2018 lalu. Titik aksi yang berada di Balai Kota DKI Jakarta itu bukan tanpa sebab. Hal tersebut karena mereka ingin menyampaikan pesan kepada orang nomor satu di Jakarta.

Mereka menuntut agar Pemprov DKI segera menyetop kontrak pengelolaan air bersih dengan dua perusahaan swasta, PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja). Hal itu sebenarnya sudah termaktub di Mahkamah Agung (MA) lewat Putusan Nomor 31 K/Pdt/2017. Dalam putusannya, MA meminta Pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan swastanisasi air, atau penyerahan pengelolaan air ke perusahaan swasta.

Pengelolaan air, menurut putusan MA, harus dikembalikan lagi ke pemerintah. MA menyebut para tergugat, termasuk Pemprov DKI, telah “lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia atas air terhadap warganya.”

Namun setahun setelah putusan MA tersebut, Menteri Keungan mengajukan Peninjauan Kembali yang kemudian dikabutlkan pada 22 Maret 2018. Dengan putusan ini, maka, PT Aetra Air Jakarta, PT PAM Lyonnnase Jaya (Palyja) tetap bisa mengelola lagi swastanisasi air di Jakarta. Meskipun, kata Juru bicara MA Andi Samsan Nganro, sampai sekarang salinan putusannya masih dalam proses minutasi.

“Belum dikirim, tapi sudah putus, masih minutasi. Betul (PK-nya dikabulkan),” kata Andi di kantornya, Jakarta, Jumat, 1 Februari 2019.

Dia menegaskan, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), sebagai penggugat asal, tidak memenuhi syarat citizen law suit atau gugatan terhadap penyelenggara negara yang dianggap lalai dalam pemenuhan hak-hak warga negara. Akan tetapi, putusan MA sebenarnya tidak memengaruhi wewenang Gubernur Anies untuk memutuskan kerja sama antara Perusahaan Daerah PAM Jaya dengan dua perusahaan swasta yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra).

“Apakah gubernur kehilangan kewenangannya untuk mencabut kontrak (karena putusan PK MA itu)? Jawabannya tidak,” kata Ketua Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, di Jakarta, Minggu, 10 Februari 2019.

Gubernur Anies memang bisa memutuskan kontrak berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 dari beberapa pasal. Seperti Pasal 33 Ayat 2, ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Kemudian Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Share: Anies Baswedan Ambil Alih Pengelolaan Air dari Swasta, Bagaimana dengan Putusan PK MA?