Budaya Pop

‘Deadpool 2’: Juara di Promosi, Statis di Film

Derick Adeboi — Asumsi.co

featured image

*) Disclaimer: Tulisan ini mengandung spoiler dalam dosis medium

Nahas memang nasib Deadpool 2, film yang dibintangi Ryan Reynolds ini dihimpit Avengers: Infinity War dan Solo (Star Wars). Meskipun menjual nama franchise Marvel, tidak ada jaminan Deadpool 2 akan sukses di pasar, lebih lagi ada anggapan sekuel film cenderung punya beban ekspektasi dan rentan gagal ketika tidak mencapai kualitas film perdana.

Sedikit flashback, film Deadpool pertama memang memberi warna baru di perjagadan superhero, apalagi yang memakai cap Marvel. Pendekatan film yang brutal, sadistik, dan penuh profanitas adalah formula yang dipakai Deadpool, sekaligus memisahkan dari stereotip umum superhero yang umumnya “ramah keluarga” dan “menggugah hati”. Formulasi superhero baru itu berhasil pada Deadpool pertama yang tayang 2016.

Penerimaan yang cukup oke di film pertama, mau tak mau jadi beban bagi 20th Centuy Fox untuk memproduksi Deadpool 2 dengan jauh lebih menarik. Mereka bergegas cepat dengan trik marketing yang sederhana: trailer film. Entah ada berapa macam trailer atau teaser Deadpool yang dipublikasikan per 2017.

Dari teaser ketika Deadpool menjadi pelukis realis yang direferensikan dari Bob Ross. Lalu teaser phone booth sebagai parodi dari Superman. Ada juga promosi yang bekerjasama dengan Manchester United. Hingga trailer yang lebih serius bersama Colossus dan Negasonic Teenage Warhead, dan dua trailer terakhir yang “serius” di Maret dan April 2018.

Saya tak ingat kapan terakhir kali ada film yang memakai konsep promosi di teaser dan trailer senyeleneh Deadpool 2; mungkin malah tidak ada. Jangan lupa, ada video klip original soundtrack Deadpool 2, berjudul Ashes yang dinyanyikan Celine Dion, yang sama nyelenehnya.

Persoalannya, apakah promosi lewat teaser dan trailer tadi punya relevansi dengan film secara keseluruhan, atau hanya upaya menarik penonton saja? Setelah menonton Deadpool 2, rasanya pertanyaan kedua yang dijawab oleh film ini. Kalau boleh jujur, kreativitas tim produksi dalam mendesain skema promosi lewat trailer-teaser yang begitu out of the box, jauh lebih baik dibandingkan film ini secara keseluruhan.

Apa yang Anda harapkan dari sebuah film superhero-komedi yang terlampau pakem formulanya dan terlanjur disukai masyarakat? Tentu sebuah repetisi. Itulah yang terjadi pada Deadpool 2, dengan repetisi formula yang pada akhirnya menjemukan walaupun tetap menarik untuk ditonton. Barangkali perubahan kemudi sutradara dari Tim Miller kepada David Leitch memang membawa konsekuensi semacam itu.

Deadpool 2 berkisah tentang Wade Wilson aka Deadpool (diperankan Ryan Reynolds) yang depresi setelah ditinggal mati sang pacar, Vanessa (diperankan Morena Boccarin). Deadpool kemudian diajak bergabung ke X-Men oleh Colossus (disuarakan oleh Stefan Kapicic) dan Negasonic Teenage Warhead (diperankan Brianna Hildebrand).

Hingga kemudian mereka bertemu Russell aka Firefist (mutan pengendali api yang diperankan Julian Dennison) dan berusaha menjinakkannya. Lalu muncul mutan Cable (diperankan Josh Brolin) yang hendak membunuh Russell. Saya bisa ceritakan lebih lanjut, tapi sampai sini saja, karena yang saya tulis di atas kurang lebih sudah mewakili setengah cerita film. Terasa generik dan tak mengejutkan? Betul, film ini bahkan berulang kali membuat otokritik dalam dialog tokohnya: lazy writing.

Sebagai karakter komik yang memang didesain bermulut besar, cerewet, dan nyinyir, pembawaan itu ditampilkan secara dominan di Deadpool 2 ini. Seperti film pertama, film ini terasa sangat komedik, dengan latar superhero generiknya. Banyak sekali jokes yang dilontarkan Wade di sepanjang film, mulai dari lawakan one-liner dan plesetan, hingga gestur-gestur sembarangnya. Tidak salah kalau menonton film ini serasa menonton sebuah stand-up comedy show, sih. Lalu yang jadi andalan Deadpool: Breaking The 4th Wall.

Singkatnya, breaking the 4th wall adalah kondisi di mana tokoh—dalam hal ini Deadpool—sadar bahwa dia hanyalah tokoh film, sehingga bisa seolah-olah berbicara langsung dengan penonton film. Dari Deadpool pertama (maupun komik) gaya ini sudah menjadi ciri khas Deadpool, tapi pada film kedua ini, digunakan sangat masif. Alhasil, “jurus” yang mestinya dapat dipakai sebagai katalis unsur humor di Deadpool malah menjadi overused dan sesekali out of place.

Materi humor yang ditampilkan Deadpool cukup segar, menggelitik; ada sindiran tehadap rival franchise yang terlalu gelap, satire terhadap tokoh politik, sampai isu rasisme. Tapi, sayangnya penulisan materi jokes Deadpool tidak semuanya bisa dicerna penonton, terutama di luar Amerika Serikat. Cukup banyak jokes yang memerlukan pemahaman penonton atas isu sosial-politik Amerika, dan juga kebudayaan AS. Jadi saya tidak heran kalau tadi di bioskop, ada beberapa jokes yang lepas dari konteks penonton Indonesia dan tidak berbuah tawa.

Bagian menarik dari film ini adalah kemunculan tiga tokoh yang keren (spoiler!): Domino, Juggernaut, dan Cable. Screen time ketiganya juga cukup banyak, dan masing-masing diberi porsi action yang berkesan. Rasa-rasanya pada film Deadpool berikutnya, ataupun crossover dengan tokoh Marvel lain, ketiga karakter ini akan kembali muncul dalam format X-Force, semoga.

Musik juga berperan penting di film ini. Menarik mendengarkan pilihan lagu yang diputar di film ini, ada gabungan dari lagu jadul dengan beat musik modern.Bahkan pemakaian beberapa lagu jadul juga terasa komedik manakala dipadukan dengan beberapa adegan yang menggelitik (reminder: hati-hati dengan panseksualitas Deadpool).

Pengemasan sinematografi juga cukup oke, ada slo-mo yang menggelikan, CGI yang standar Marvel, dan angle yang tidak membuat pusing. Tapi karena memang film ini bertitikberat di dialognya, elemen action mungkin tidak dominan secara visual, walaupun sesekali dipakai untuk menunjang kejenakaan Deadpool.

Untungnya, meskipun Deadpool beberapa kali mengampenyekan kalau film ini “family movie“, tidak ada orang tua yang membawa anak balitanya menonton film ini, setidaknya di studio bioskop saya. Mudah-mudahan kejadian dua tahun lalu tidak terulang.

Secara keseluruhan, film Deadpool 2 tidaklah mengecewakan. Ada banyak humor segar yang ditampilkan. Ryan Reynolds benar-benar berhasil menjadi Wade Wilson aka Deadpool (ia juga menjadi salah satu penulis skrip di film ini), dan saya rasa ke depannya mampu seikonik Robert Downey Jr. dengan persona Tony Stark-nya.

Namun, apabila dibandingkan dengan betapa otentik dan menariknya suguhan teaser beserta trailer Deadpool 2 yang di-blast setahun terakhir, rasanya film ini sedikit terbanting. Upaya promosi yang nyeleneh tadi akan jadi sesuatu yang melegenda, sementara film ini, mungkin isi ceritanya akan terlupakan setelah beberapa minggu.

Derick Adeboi adalah mahasiswa program magister Cultural Studies Universitas Indonesia

Share: ‘Deadpool 2’: Juara di Promosi, Statis di Film